Oleh:
Israwaty Samad & Alfian Nawawi
Pagi
di atas tanah kering berdebu dan berbatu. Seorang lelaki separuh baya berjalan dengan
tenang melewati jalan setapak di sebuah kampung kecil. Perawakannya agak
sedang. Tubuhnya jangkung dibalut pakaian serba putih. Rambutnya yang hitam
legam agak panjang dengan sedikit uban dibalut sorban putih gading. Tangan
kanannya memegang sebuah tongkat kayu. Wajahnya tenang berwibawa dan tampak
bercahaya sesekali menunduk. Matanya bias sesekali melepaskan pandangan ke
sekitar.
Sepanjang
jalan setapak yang dilaluinya dipenuhi batu-batu kerikil. Di sisi kiri kanan
jalan terdapat banyak batu-batu besar dan tanaman meranggas.
“Astagfirullahhalazim.
Kemarau yang sangat panjang telah membuat kampung ini begitu kekeringan.”
bathin lelaki itu. Sambil matanya terus memandang ke sekitar seperti
mencari-cari dan hendak melakukan sesuatu.
Matahari
naik sepenggalah diatas kepalanya yang berbalut sorban. Lelaki itu berhenti di
dekat sebuah batu besar berwarna hitam. Permukaan batu berbentuk agak datar.
Tampaknya dia telah menemukan apa yang ia cari.
“Alhamdulillah.
Terimakasih ya Allah. Engkau telah membawaku ke batu ini untuk melaksanakan
shalat dhuha,” gumamnya sambil menengadahkan wajahnya ke langit. Lalu kedua
telapak tangannya diletakkan ke tanah, untuk mulai bertayammum sebab sedari
tadi ia tidak kunjung menemukan satupun sumber mata air maupun air sungai.
Lelaki itu lalu berdiri melaksanakan Shalat Dhuha di atas batu besar itu.
Lelaki
berpakaian serba putih itu adalah Khatib Bungsu. Seorang ulama dari Koto
Tangah, Minangkabau yang menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan di Sulawesi
Selatan yang sedang melakukan perjalanan menuju Kerajaan Tiro.
“Assalamualaikum,
puang.” Seorang pemuda berbadan tegap berpakaian serba hitam-hitam tiba-tiba
muncul dari balik sebuah batu besar setelah Khatib Bungsu menyelesaikan sholat
Dhuha nya.
“Waalaikumsalam
Warahmatullahi Wabarakatuh,” jawab Khatib Bungsu.
Pemuda
itu langsung menjabat dan mencium tangan Khatib Bungsu. Lalu ia berkata,
“Alhamdulillah. puang datang tepat pada waktunya!’
“Ada
apa, muridku?” Tanya Khatib Bungsu agak sedikit heran dengan ucapan pemuda itu.
Pemuda itu adalah salah seorang muridnya di kampung ini.
“Begini,
puang. Kita harus segera melakukan sesuatu. Kemarau berkepanjangan telah
membuat sebahagian besar pengikut kita di kampung ini menjadi hampir putus asa.
Mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa ketika mereka diejek oleh
orang-orang yang masih belum diberikan hidayah Sang Khalik.”
“Subhanallah.
Sesungguhnya apa yang telah terjadi, anak muda? Mereka diejek dalam hal apa?”
Tanya Khatib Bungsu dengan suara tenang dan berwibawa.
“Begini,
puang. Mereka berkata bahwa mereka lebih baik mempertahankan ajaran nenek
moyang mereka dibanding mengikuti agama baru yang diajarkan oleh puang. Agama
baru ini tidak bisa menolong mereka keluar dari kemarau berkepanjangan ini.
Hujan tidak kunjung turun. Setiap hari ada saja ternak yang mati akibat
kekeringan. Tanaman mereka juga gagal panen. Puang, mereka bahkan sangat yakin
bahwa agama baru ini tidak mampu membawa mereka kepada penghidupan yang lebih
baik.”
“Masya
Allah. Sesungguhnya Allah SWT Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Allah tidak
akan menimpakan sesuatu beban kepada hamba-Nya manakala hamba-Nya itu tidak
sanggup menanggungnya,” ujar Khatib Bungsu. Kemudian ia berkata lagi,”yakinlah,
anak muda. Allah akan selalu menolong orang-orang yang menolong agama-Nya.
Mari, anak muda. Insya Allah, kita akan membuktikan bahwa sesungguhnya
Allah Maha Penolong.”
Keduanya
pun lalu bergegas berjalan meninggalkan tempat itu. Keduanya berjalan menuju ke
arah perkampungan penduduk.
Ketika
tiba di kelokan jalan, keduanya dikejutkan dengan sebuah pemandangan yang
sangat mengerikan. Puluhan lelaki dan perempuan dewasa tampak mengelilingi
sebuah batu besar yang kelihatannya adalah sebuah altar. Di atas batu besar itu
terbaring seorang gadis dengan wajah penuh ketakutan. Kedua tangan dan
kaki nya terikat tali. Seorang lelaki bertelanjang dada berdiri di
samping batu besar tempat gadis itu diletakkan. Dengan memegang dua bilah badik
di kedua tangannya. Badik itu tampak sakral, gagangnya seperti terbuat dari
tulang manusia yang diukir. Menunjukkan bahwa bukan orang sembarangan yang
dapat memilikinya.
“Masya
Allah. Muridku, apa gerangan yang dilakukan orang-orang itu?” Khatib Bungsu
berkata pada muridnya.
“Puang,
itu adalah sebuah upacara persembahan kepada dewa mereka. Mereka akan
mengorbankan gadis itu untuk meminta hujan!”
“Astagfirullahhalaziim.
Apakah upacara semacam ini telah sering mereka lakukan selama ini?” Dia
bertanya dengan nada terkejut.
“Upacara
ini baru dilakukan lagi. Terakhir kali kami saksikan, upacara seperti ini
ketika terjadi kemarau panjang belasan tahun lalu, dengan mengorbankan
seorang gadis yang masih perawan.”
Upacara
persembahan di hadapan mereka tampaknya sudah dimulai. Puluhan lelaki dan
perempuan di sekeliling altar batu mengucapkan semacam mantra yang kedengaran
seperti nyanyian dan ratapan kepedihan. Lelaki bertelanjang dada yang tampaknya
adalah pemimpin upacara itu melakukan semacam tarian mengelilingi altar batu.
Sejurus kemudian pemimpin upacara itu berhenti menari. Kedua tangannya diangkat
ke langit sambil mengeluarkan mantra. Ia lalu berjalan ke arah sebuah wadah
berisi air dan memasukan kedua badik itu kedalam air suci. kemudian dia
mengangkat kedua badik itu tinggi-tinggi ke arah langit. Mulutnya tak henti
meracau mengeluarkan ucapan-ucapan mantra.
Hening
dan ketegangan meliputi tempat itu. Pemimpin upacara itu lalu berjalan
menghampiri gadis persembahannya di altar batu. Pemandangan mengerikan akan
segera terjadi. Kedua badik itu diayun sekuat tenaga. Sesaat lagi kepala
gadis itu akan segera terpisah dari badannya.
“Tunggu...!”
Dalam detik-detik eksekusi yang akan dilakukan itu, tiba-tiba terdengar suara
menggelegar. Suara itu ..mengejutkan semua orang yang ada di situ. Mereka
serempak melihat ke arah datangnya suara itu.
“Kau
rupanya, Khatib Bungsu!” seru lelaki pemimpin upacara. Perlahan ia
menurunkan badiknya. Lalu ia berkata lantang, ”Khatib Bungsu..! Ada
urusan apa tiba-tiba muncul di sini mengganggu jalannya upacara kami?”
“Hentikan
upacara setan ini! Ketahuilah, mengorbankan nyawa gadis yang tidak berdosa
tidak akan merubah apapun. Hujan tetap tidak akan turun kecualli kemalangan
atas nasib gadis itu. Perbuatan kalian ini sungguh sangat kejam dan tidak
manusiawi. Jika ingin meminta hujan, mintalah kepada Allah SWT, Tuhan semesta
alam dengan berdoa dan malakukan kebajikan.”
“Hahahahahaahaaa!
Upacara ini kami lakukan berdasarkan ajaran leluhur kami dan telah berlangsung
selama ratusan tahun. Ajaran baru yang kamu ajarkan nyatanya juga tidak bisa
menurunkan hujan di negeri ini, bukan?” Lelaki itu berkata sambil matanya
memandang sinis pada Khatib Bungsu.
“Tidak
ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan-Nya,” kata Khatib Bungsu
dengan suara tenang.
“Omong
besar! Buktikan jika kamu mampu menurunkan hujan.”
Khatib
Bungsu terdiam sejenak. Dengan suara yang tetap tenang dan berwibawa ia
berkata,”baiklah, aku akan mencoba meminta kepada Allah SWT, air yang kalian
inginkan itu, tapi dengan syarat kalian harus melepaskan gadis itu dan
meninggalkan cara-cara keji ini.”
“Hei,
Khatib Bungsu. Kami tidak akan melepaskan gadis persembahan kami. begini saja,
buktikan kepada kami jika kamu bisa meminta air kepada Tuhanmu itu. Buktikan
saja kalau ajaranmu itu benar. Jika kamu bisa membuktikan omong besarmu, maka
kami melepaskan gadis ini,” ujar lelaki itu sinis.
“Baiklah,
tetapi kalian harus menepati janji. Kalian harus melepaskannya” ujar
Khatib Bungsu. Ia lalu berjalan beberapa langkah.
Sejenak
kemudian wali Allah itu mengangkat kedua tangannya dan lalu berdoa beberapa
saat. Setelah mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahnya lalu secara
tiba-tiba ia mengangkat tongkat kayunya lalu dihunjamkan ke tanah dengan keras.
Separuh tongkat itu terhunjam ke dalam tanah. Khatib Bungsu lalu menarik
tongkat itu dan membentuk semacam garis. Dan apa yang terjadi sungguh sangat
mencengangkan! Sekonyong-konyong dari dalam lubang bekas tongkat itu
memancarlah air yang sangat deras! Semakin deras dan menggenangi tanah tempat
mereka berpijak.Genangan air itu semakin banyak hingga menggenangi semua
orang-orang di tempat itu sampai setinggi lutut.......
baca
selengkapnya di Purakasastra edisi 1, Agustus 2014
(Diambil dari rubrik Kajian
Sastra majalah Purakasastra Edisi 1)