Wednesday, August 27, 2014



Oleh: Israwaty Samad & Alfian Nawawi
Pagi di atas tanah kering berdebu dan berbatu. Seorang lelaki separuh baya berjalan dengan tenang melewati jalan setapak di sebuah kampung kecil. Perawakannya agak sedang. Tubuhnya jangkung dibalut pakaian serba putih. Rambutnya yang hitam legam agak panjang dengan sedikit uban dibalut sorban putih gading. Tangan kanannya memegang sebuah tongkat kayu. Wajahnya tenang berwibawa dan tampak bercahaya sesekali menunduk. Matanya bias sesekali melepaskan pandangan ke sekitar.
 Sepanjang jalan setapak yang dilaluinya dipenuhi batu-batu kerikil. Di sisi kiri kanan jalan terdapat banyak batu-batu besar dan tanaman meranggas.
 “Astagfirullahhalazim. Kemarau yang sangat panjang telah membuat kampung ini begitu kekeringan.” bathin lelaki itu. Sambil matanya terus memandang ke sekitar seperti mencari-cari dan hendak melakukan sesuatu.
Matahari naik sepenggalah diatas kepalanya yang berbalut sorban. Lelaki itu berhenti di dekat sebuah batu besar berwarna hitam. Permukaan batu berbentuk agak datar. Tampaknya dia telah menemukan apa yang ia cari.
“Alhamdulillah. Terimakasih ya Allah. Engkau telah membawaku ke batu ini untuk melaksanakan shalat dhuha,” gumamnya sambil menengadahkan wajahnya ke langit. Lalu kedua telapak tangannya diletakkan ke tanah, untuk mulai bertayammum sebab sedari tadi ia tidak kunjung menemukan satupun sumber mata air maupun air sungai. Lelaki itu lalu berdiri melaksanakan Shalat Dhuha di atas batu besar itu.
 Lelaki berpakaian serba putih itu adalah Khatib Bungsu. Seorang ulama  dari Koto Tangah, Minangkabau yang menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan yang sedang melakukan perjalanan menuju Kerajaan Tiro.
 “Assalamualaikum, puang.” Seorang pemuda berbadan tegap berpakaian serba hitam-hitam tiba-tiba muncul dari balik sebuah batu besar setelah Khatib Bungsu menyelesaikan sholat Dhuha nya.
“Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh,” jawab Khatib Bungsu.
Pemuda itu langsung menjabat dan mencium tangan Khatib Bungsu. Lalu ia berkata, “Alhamdulillah. puang  datang tepat pada waktunya!’
“Ada apa, muridku?” Tanya Khatib Bungsu agak sedikit heran dengan ucapan pemuda itu. Pemuda itu adalah salah seorang muridnya di kampung ini.
“Begini, puang. Kita harus segera melakukan sesuatu. Kemarau berkepanjangan telah membuat sebahagian besar pengikut kita di kampung ini menjadi hampir putus asa. Mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa ketika  mereka diejek oleh orang-orang yang masih belum diberikan hidayah  Sang Khalik.”
 “Subhanallah. Sesungguhnya apa yang telah terjadi, anak muda? Mereka diejek dalam hal apa?” Tanya Khatib Bungsu dengan suara tenang dan berwibawa.
“Begini, puang. Mereka berkata bahwa mereka lebih baik mempertahankan ajaran nenek moyang mereka dibanding mengikuti agama baru yang diajarkan oleh puang. Agama baru ini tidak bisa menolong mereka keluar dari kemarau berkepanjangan ini. Hujan tidak kunjung turun. Setiap hari ada saja ternak yang mati akibat kekeringan. Tanaman mereka juga gagal panen. Puang, mereka bahkan sangat yakin bahwa agama baru ini tidak mampu membawa mereka kepada penghidupan yang lebih baik.”
“Masya Allah. Sesungguhnya Allah SWT Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Allah tidak akan menimpakan sesuatu beban kepada hamba-Nya manakala hamba-Nya itu tidak sanggup menanggungnya,” ujar Khatib Bungsu. Kemudian ia berkata lagi,”yakinlah, anak muda. Allah akan selalu menolong orang-orang yang menolong agama-Nya. Mari, anak muda. Insya Allah, kita akan  membuktikan bahwa sesungguhnya Allah Maha Penolong.”
 Keduanya pun lalu bergegas berjalan meninggalkan tempat itu. Keduanya berjalan menuju ke arah perkampungan penduduk.
Ketika tiba di kelokan jalan, keduanya dikejutkan dengan sebuah pemandangan yang sangat mengerikan. Puluhan lelaki dan perempuan dewasa tampak mengelilingi sebuah batu besar yang kelihatannya adalah sebuah altar. Di atas batu besar itu terbaring seorang gadis dengan wajah penuh ketakutan. Kedua tangan dan kaki  nya terikat tali. Seorang lelaki bertelanjang dada berdiri di samping batu besar tempat gadis itu diletakkan. Dengan memegang dua bilah badik di kedua tangannya. Badik itu tampak sakral, gagangnya seperti terbuat dari tulang manusia yang diukir. Menunjukkan bahwa bukan orang sembarangan yang dapat memilikinya.
“Masya Allah. Muridku, apa gerangan yang dilakukan orang-orang itu?” Khatib Bungsu berkata pada muridnya.
“Puang, itu adalah sebuah upacara persembahan kepada dewa mereka. Mereka akan mengorbankan gadis itu untuk meminta hujan!”
“Astagfirullahhalaziim. Apakah upacara semacam ini telah sering mereka lakukan selama ini?” Dia bertanya dengan nada terkejut.
“Upacara ini baru dilakukan lagi. Terakhir kali kami saksikan, upacara seperti ini ketika terjadi kemarau panjang belasan tahun lalu,  dengan mengorbankan seorang gadis yang masih perawan.”
Upacara persembahan di hadapan mereka tampaknya sudah dimulai. Puluhan lelaki dan perempuan di sekeliling altar batu mengucapkan semacam mantra yang kedengaran seperti nyanyian dan ratapan kepedihan. Lelaki bertelanjang dada yang tampaknya adalah pemimpin upacara itu melakukan semacam tarian mengelilingi altar batu. Sejurus kemudian pemimpin upacara itu berhenti menari. Kedua tangannya diangkat ke langit sambil mengeluarkan mantra. Ia lalu berjalan ke arah sebuah wadah berisi air dan memasukan kedua badik itu kedalam air suci. kemudian dia mengangkat kedua badik itu tinggi-tinggi ke arah langit. Mulutnya tak henti meracau mengeluarkan  ucapan-ucapan mantra.
Hening dan ketegangan meliputi tempat itu. Pemimpin upacara itu lalu berjalan menghampiri gadis persembahannya di altar batu. Pemandangan mengerikan akan segera terjadi.  Kedua badik itu diayun sekuat tenaga. Sesaat lagi kepala gadis itu akan segera terpisah dari badannya.
“Tunggu...!” Dalam detik-detik eksekusi yang akan dilakukan itu, tiba-tiba terdengar suara menggelegar. Suara itu ..mengejutkan semua orang yang ada di situ. Mereka serempak melihat ke arah datangnya suara itu.
“Kau rupanya, Khatib Bungsu!” seru lelaki pemimpin upacara. Perlahan ia menurunkan  badiknya. Lalu ia berkata lantang, ”Khatib Bungsu..! Ada urusan apa tiba-tiba muncul di sini mengganggu jalannya upacara kami?”
“Hentikan upacara setan ini! Ketahuilah, mengorbankan nyawa gadis yang tidak berdosa tidak akan merubah apapun. Hujan tetap tidak akan turun kecualli kemalangan atas nasib gadis itu. Perbuatan kalian ini sungguh sangat kejam dan tidak manusiawi. Jika ingin meminta hujan, mintalah kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam dengan berdoa dan malakukan kebajikan.”
“Hahahahahaahaaa! Upacara ini kami lakukan berdasarkan ajaran leluhur kami dan telah berlangsung selama ratusan tahun. Ajaran baru yang kamu ajarkan nyatanya juga tidak bisa menurunkan hujan di negeri ini, bukan?” Lelaki itu berkata sambil matanya memandang sinis pada Khatib Bungsu.
“Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan-Nya,” kata Khatib Bungsu dengan suara tenang.
“Omong besar! Buktikan jika kamu mampu menurunkan hujan.”
 Khatib Bungsu terdiam sejenak. Dengan suara yang tetap tenang dan berwibawa ia berkata,”baiklah, aku akan mencoba meminta kepada Allah SWT, air yang kalian inginkan itu, tapi dengan syarat  kalian harus melepaskan gadis itu dan meninggalkan cara-cara keji ini.”
“Hei, Khatib Bungsu. Kami tidak akan melepaskan gadis persembahan kami. begini saja, buktikan kepada kami jika kamu bisa meminta air kepada Tuhanmu itu. Buktikan saja kalau ajaranmu itu benar. Jika kamu bisa membuktikan omong besarmu, maka kami melepaskan gadis ini,” ujar lelaki itu  sinis.
“Baiklah, tetapi kalian harus menepati  janji. Kalian harus melepaskannya” ujar Khatib Bungsu. Ia lalu berjalan beberapa langkah.
Sejenak kemudian wali Allah itu mengangkat kedua tangannya dan lalu berdoa beberapa saat. Setelah mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahnya lalu secara tiba-tiba ia mengangkat tongkat kayunya lalu dihunjamkan ke tanah dengan keras. Separuh tongkat itu terhunjam ke dalam tanah. Khatib Bungsu lalu menarik tongkat itu dan membentuk semacam garis. Dan apa yang terjadi sungguh sangat mencengangkan! Sekonyong-konyong dari dalam lubang bekas tongkat itu memancarlah air yang sangat deras! Semakin deras dan menggenangi tanah tempat mereka berpijak.Genangan air itu semakin banyak  hingga menggenangi semua orang-orang di tempat itu sampai setinggi lutut.......
baca selengkapnya di Purakasastra edisi 1, Agustus 2014

(Diambil dari  rubrik Kajian Sastra majalah Purakasastra Edisi 1)


Sunday, August 24, 2014




Oleh : Firman D. Permana



         Mungkin bagi sebagian orang nama Iskandar Ys sudah tidak asing lagi, hampir tiap hari tulisannya selalu hadir dalam beberapa Grup Sastra di media sosial Facebook. Dalam edisi kali ini kita akan sedikit lebih mengenal sosok “ Bang Is “ melalui sesi wawancara singkat tentang latar belakang dan tanggapannya mengenai Sastra Cyber Indonesia.
Pria bernama lengkap Iskandar Yusuf ini lahir di  Bone pada tanggal 21 Oktober 1961, Sosok yang menyandang gelar S2 filsafat ini saat ini mempunyai usaha pembibitan ayam bangkok yang baru saja dirintisnya sekitar 3 bulan yang lalu.
Pada awalnya Bang Is sama seperti sebagian orang yang menganggap bahwa media sosial Facebook ‘tidak bermanfaat’ lantaran hanya digunakan sebagai wadah ajang eksis untuk tempat guyon, curhat, ataupun hal hal yang sepele lainnya. Dengan semakin berkembangnya teknologi juga turut andil dalam memperbanyak masyarakat untuk setidaknya memiliki sebuah akun Facebook. Maka secara otomatis juga semakin menjamurnya akun akun yang berstatuskan tulisan yang sekedar tempat curhat dan bahkan menghujat. Maka itu Bang Is berpikiran bahwa sebaiknya media sosial Facebook juga digunakan untuk berbagi hal-hal yang positif dan bermanfaat bagi orang banyak. Alhasil setiap kali menuliskan baik puisi dan juga beberapa filosofi yang bertujuan sebagai motivasi mendapatkan apresiasi dan reaksi yang positif.
Hampir tiap hari Bang Is selalu memposting karyanya, tak pernah habis inspirasi yang dimiliki Bang Is, inspirasi bisa dengan mudah didapatkan mulai dari diri sendiri ataupun lingkungan sekitar.
“Kalau puisi bisa saya dapatkan inspirasi dari sekitarnya, namun lebih banyak itu dari suara jiwa saya, makanya saya buat grup Puisi Suara Jiwa, suara jiwa dapat di 'dengar' atau di 'rasa' oleh yang membacanya... kalau tulisan sosial, politik karena saya melihat negeri ini semakin lama semakin tidak bertuan saya menulis sejak smp, beberapa puisi dan soliloquy pernah dimuat di majalah aktuil, tahun 80-an saya kolumnis free lance di dua surat kabar daerah .“ begitu tulisnya.
Keaktifan duda berputri satu ini tidak hanya sebagai pemosting karya tulisnya, tapi Bang Is juga membuat beberapa grup Facebook yang memiliki spesifikasi tersendiri dalam setiap grupnya. Seperti Grup Puisi Suara Jiwa yang khusus memposting hasil karya berupa puisi dari para anggotannya. Lalu ada KRONIKA dimana anggotanya dapat mengirimkan tulisan atau pemikiran yang bersifat Konstruktif tentang kritik Sosial, Politk dan Hukum. Dan juga Grup KOPI PAHiT yang memberikan ruang bagi anggotanya untuk saling memotivasi, dan belajar bagaimana mengelola kehidupan dengan semangat untuk tidak menyerah, dalam grup ini setiap anggota hanya boleh mengirimkan tulisan yang mendorong terbukanya inspirasi-inspirasi baru yang memungkinkan anggota lainnya untuk lebih mudah mengambil keputusan dan hikmah dari setiap peristiwa yang dialami. Tidak hanya itu, Bang Is juga membuat grup puisi Soul Sound Poet, yang mana setiap hasil karya yang diposting menggunakan bahasa Inggris.
“Saya buat grup puisi Soul Sound Poet, membernya komunitas luar negeri, itu grup versi bhs inggris, disana saya tahu sastra, puisi, kita tidak kalah halusnya dengan pusi karya barat, sering puisi saya mendapat apresiasi, rata2 mereka memberi pujian lewat inbox “ jelasnya.
Jika ditelisik lebih dalam,setiap karya dari Bang Is ini terpengaruh gaya bahasa seorang Khalil Gibran dan juga Chairil Anwar dan Remy Silado. Yang dibenarkan oleh pemilik akun lain Iskandar Ys Poet ini.
“Bagus, saya respect, meski banyak mereka baru sekedar mencoba menulis puisi, tetapi lebih baik sebagai awal menjadi baik dalam penulisannya, ada grup dimana saya member disana, Forum sastra Indonesia (Forsasindo) anggotanya 38 ribu lebih, sayang adminnya tidak 'turun' ke lapangan meng-appreciate tulisan-tulisan membernya. “ Begitu jawaban Bang Is saat ditanya tentang tanggapannya mengenai begitu maraknya grup grup Facebook yang menggangkat sastra baik itu berupa grup pembelajaran tentang sastra, ataupun grup yang khusus memberikan tempat untuk mengapresiasi segala bentuk karya tulis para anggotanya.
Sebagaimana seorang penulis dan sastrawan lain Bang Is berharap bahwa karya karyanya dapat dibukukan atau setidaknya berkontribusi dalam sebuah antologi baik itu puisi maupun soliloquy. ” kalau ada yang berminat dengan senang hati saya dapat bekerjasama “ begitu tulisnya.
Saat ditanya mengenai impian yang ingin dicapai dalam dunia Sastra Cyber Bang Is dengan penuh harap menjawab.
“ saya berharap lahir penulis2 muda yang berkualitas dengan memanfaatkan IT dari FB ini, Cyber sebuah ruang untuk kita bisa lebih dalam lagi memahami karya2 sastra ternama, dahulu kita tidak mengenal cyber, tetapi banyak tokoh sastra yang lahir dari kondisi apa adanya, banyak karya yg hebat berawal dari tulisan dari bungkus rokok, saya menaruh harapan Rubrik Sastra Cyber - Jurnal Puraka Sastra menjadi wadah sekaligus pionir di bidang sastra, semakin orang memahami sastra semakin santun seseorang dalam bertindak, saat ini kita butuh banyak orang santun di negeri ini ”.
Dan sebagai penutup wawancara Bang Is memberikan saran agar para generasi muda cyber memanfaatkan teknologi cyber ini dengan optimal untuk sebuah karya yang hebat.












(Diambil dari  rubrik Sastra Cyber  majalah Purakasastra Edisi 1)













Oleh : Tiwi Sudartinah


Setiap karya sastra sangat dipengaruhi oleh latar belakang penciptanya karena setiap pencipta hidup pada masa yang berbeda Oleh sebab itu karya sastra yang dihasilkan pada masa yang berbeda akan memiliki karakteristik yang berbeda pula. Hal ini disebabkan oleh karakteristik masyarakat yang berbeda dan juga karakteritik wawasan estetika yang berbeda pula. Dan bicara tentang karakteritik sastra tidak akan lepas dari periode-periode perkembangan sastra yang berubah dari waktu ke waktu. Rangkaian periode-periode sastra itu saling bertumpang-tindih, artinya sebelum angkatan kemarin atau angkatan lama lenyap, maka timbul benih-benih baru yang lebih kritis dan kreatif secara bertahap akan diterima oleh masyarakat dan menggantikan angkatan sebelumnya.
Karakteristik karya sastra satu angkatan dipengaruhi oleh karakteristik jamannya. Beberapa angkatan sastra di Indonesia dengan mengacu pada penulisan sejarah sastra menunjuk adanya angkatan angkatan antara lain : Angkatan Pujangga Lama, Angkatan Sastra Melayu Lama, Angkatan Balai Pustaka (angkatan 20-an), Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 1945, Angkatan 1950 - 1960-an, Angkatan 1966 - 1970-an, Angkatan 1980 - 1990-an, Angkatan Reformasi, Angkatan 2000-an dan tentunya akan terus berkembang seiring berkembangnya jaman.
Pada kajian ini kita akan membedah 3 diantara begitu banyaknya angkatan berdasarkan jaman dan karakteristik yang khas dari angkatan tersebut.

Angkatan Balai Pustaka
Balai Pustaka merupakan suatu angkatan dalam periodisasi sastra yang terkenal dengan sebutan angkatan pembangkit karena lahir pada masa kebangkitan sastra Indonesia yaitu pada periode tahun 1920 sampai tahun 1942. Namun Balai Pustaka juga dikenal sebagai nama sebuah penerbit yang memang keberadaannya menunjang penerbitan sastra-sastra pada masa itu. Angkatan Balai Pustaka atau disebut angkatan 20 an dan popular juga dengan sebutan angkatan Siti Nurbaya.

Balai Pustaka memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan sastra Indonesia dengan keberadaanya maka sastrawan Indonesia dapat melontarkan apa yang menjadi beban pikirannya melalui tulisan yang dapat dinikmati oleh dirinya sendiri dan juga orang lain (penikmat sastra). Balai Pustaka mempunyai tujuan untuk memberikan konsumsi berupa bacaan kepada rakyat yang berisi tentang politik pemerintahan kolonial,  serta praktek nyatanya yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat lokal. Sehingga secara perlahan tapi pasti, menyulut kesadaran rasa nasionallisme dan patriotisme.. Hal ini diperlihatkan melalui karya sastra yang telah mempergunakan bahasa persatuan Indonesia, dengan tanpa maksud meninggalkan adat istiadatnya. Malah sebaliknya  dengan keaneka-ragaman adat-istiadat menjadikannya sebagai alat untuk mempersatukan bangsa Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut maka sifat-sifat khas angkatan Balai Pustaka adalah:
-          Sebagian besar karya sastra angkatan Balai Pustaka bercorak romantic dan mengambil tema masalah kawin paksa (Menurut masyarakat paada masa itu perkawinan adalah urusan orang tua, pihak orang tua berkuasa sepenuhnya untuk menjodohkan anaknya).  –
-          Latar belakang sosial sastra angkatan Balai Pustaka berupa pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum tua. Kita bisa mengambil contoh novel Salah Asuhan, Si Cebol Rindukan Bulan, yang memiliki kecenderungan simpati kepada yang lama, bahwa yang baru tidak semuanya membawa kebaikan.
-          Unsur nasionalitas pada sastra Balai Pustaka belum jelas. Pelaku-pelaku novel angkatan Balai Pustaka masih mencerminkan kehidupan tokoh-tokoh yang berasal dari daerah-daerah. Peristiwa yang diceritakan sesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.

-          Analisis psikologis pelakunya belum dilukiskan secara mendalam. 

Sastra Balai Pustaka merupakan sastra bertendes dan bersifat didaktis yaitu lebih cenderung pada sesuatu khususnya mengenai permasalahan diatas sehingga terlihat seolah-olah karyanya hanya itu-itu saja/monoton.
-          Bahasa sastra Balai Pustaka adalah bahasa Indonesia pada masa permulaan perkembangan yang pada masa itu disebut bahasa melayu umum dan masih menggunakan banyak perumpamaan dalam gaya bahasanya.
-          Genre sastra Balai Pustaka berbentuk novel, sedangkan puisinya masih berupa pantun dan syair.

Secara ringkas karakteristik angkatan Balai Pustaka adalah . Bahasa sastra Balai Pustaka adalah bahasa Indonesia pada masa permulaan perkembangan yang disebut bahasa melayu umum. Gaya Bahasa yang dipergunakan masih banyak menggunakan perumpamaan atau kiasan. Tokoh-tokoh (pelaku-pelaku)nya masih menunjukkan asal daerah dengn peristiwa sesuai realitas kehidupan masyarakat. Penggambaran psikologis tokoh/pelaku tidak mendalam. Selain itu, merupakan sastra bertendes dan bersifat didaktis hingga terlihat monoton. Genre sastra berbentuk novel dengan puisi masih berbentuk syair dan pantun.

Beberapa Tokoh-tokoh angkatan Balai Pustaka antara lain :
1.       Nur Sutan Iskandar Lahir  di  Maninjau tahun 1893 ( Salah pilih, Hulubalang Raja, Cinta dan Kewajiban (dikarang bersama dengan I.Wairata) dan lain lain).
2.       Abdul Muis, Lahir di Minangkabau (Salah Asuhan, Pertemuan Jodoh, Suropati (novel sejarah)),
3.       Marah Rusli Lahir di Padang 7 Agustus 1989 dan meninggal di Bandung 17 Januari 1968. (Siti Nurbaya, Anak dan Kemenakan, Memang Jodoh – La Harni
4.       Aman Datuk Majaindo Lahir di Solok pada tahun 1896. (Si Doel Anak Betawi (cerita anak-anak), Anak Desa (cerita anak-anak), Si Cebol Rindukan Bulan Menebus Dosa, Syair Si Banso (Gadis Durhaka) Kumpulan Syair, Syair Gul Bakawali - Kumpulan Syair.)
5.       Muhammad Kasim Lahir tahun 1886 (Pemandangan Dunia Anak-anak, Teman Dukun (kumpulan cerpen), Muda Terung, Pengeran Hindi, Niki Bahtera).
6.       Tulis Sutan Sati (Tidak Membalas Guna, Sengsara Membawa Nikmat,
7.        Selasih sering memakai nama samaran Seleguri atau Sinamin. Lahir tahun 1909 (Kalau Tak Ujung ,Pengaruh Keadaan)
8.       Sa’adam Alim ( Pembalasannya (sebuah sandiwara), Taman Penghibur Hati (kumpulan cerpen
9.       Merari Siregar ( Azab dan Saengsara)
10.    I Gusti Njoman Pandji Tisna (Ni Rawi Ceti Penjual Orang, I Swasta Setahun di Bedahulu, Sukreni Gadis Bali, Dewi Karuna, I Made Widiadi (Kembali Kepada Tuhan))
11.    Paulus Supit ( Kasih Ibu)
12.    Suman H.S Lahir di Bengkalis (Kasih Tak Terlarai, Percobaan Setia, Mencari Pencuri Anak Perawan, Kawan Bergelut (Kumpulan Cerpen).
13.     H.S.Muntu(Pembalasan, KarenaKerendahanBudi.)

Dalam perjalanannya penerbit Balai Pustaka banyak melakukan sensor terhadap karya-karya sastra untuk diterbitkan. Karya sastra yang dianggap tidak sesuai dengan tujuannya tidak akan diterbitkan. Dengan semakin banyaknya  karya yang disensor oleh penerbit Balai Pustaka maka muncul reaksi dari para sastrawan.

Angkatan Pujangga Baru

Angkatan Pujangga Baru, muncul pada tahun 30-an, dipelopori   oleh Sutan Takdir Alisyahbana  muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis.
Pujangga baru semula adalah nama majalah sastra dan kebudayaan yang diterbitkan oleh penerbit Pustaka Rakyat, antara tahun 1933 sampai dengan adanya pelarangan oleh pemerintah Jepang setelah tentara Jepang berkuasa di Indonesia. Adapun pengasuhnya antara lain Sultan Takdir Alisjahbana, Armaijn Pane , Amir Hamzah dan Sanusi Pane. Sastrawan yang hasil karyanya pernah dimuat dalam majalah itu, dinilai memiliki bobot dan cita-cita kesenian yang baru,hanya untuk memudahkan ingatan adanya angkatan baru itulah maka dipakai istilah Angkatan Pujangga Baru, yang tak lain adalah orang-orang yang tulisan-tulisannya pernah dimuat didalam majalah tersebut.


Pada masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu :
1.       Kelompok “Seni untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah
2.       Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.
Pada angkatan pujangga baru terjadi sedikit perubahan dari angkatan Balai Pustaka, dimana karya-karya sastra yang lahir dalam angkatan ini mulai memancarkan jiwa yang dinamis, individualistis, dan tidak terikat dengan tradisi, serta seni harus berorientasi pada kepentingan masyarakat. Kebudayaan masyarakat saat itu bersifat dinamis. Sumbangan yang terpenting dari angkatan Pujangga Baru dalam perkembangan sastra Indonesia adalah pembaharuan di bidang puisi, roman dalam bentuk novel mulai diperkenalkan para sastrawan. Di samping itu, tulisan-tulisan dalam bentuk esai dan kritik merupakan sesuatu yang baru, yang digunakan untuk memajukan kebudayaan dan sastra Indonesia
Angkatan 33 (Pujangga Baru) terdiri dari sejumlah sastrawan yang memiliki keaneka-ragaman suku bangsa, agama, kepercayaan yang tersebar di seluruh Indonesia. Mereka mempunyai cita-cita yang sama, yaitu membentuk kebudayaan baru, kebudayaan Indonesia. Dalam memajukan kebudayaan, khususnya sastra Indonesia. Para sastrawan menerima pengaruh secara eksternal. Sementara itu pengaruh internal juga cukup kuat, maka terjadi akulturasi budaya, yaitu pergeseran budaya di bidang sastra. Para sastrawan yang sebelumnya banyak berfikir soal kedaerahan, sejak jaman Pujangga Baru mulai mengarah pada hal-hal yang bersifat nasional dan universal.
Pada angkatan Pujangga Baru karya sastra yang berbentuk puisi terlihat ada dua unsur yaitu unsur estetik dan unsur ekstra Estetik. Unsur estetik puisi pujangga baru bercirikan bentuknya yang  teratur rapi, simetris. Mempunyai persajakan akhir. Banyak menggunakan pola sajak pantun dan syair meskipun ada pola yang lain, kebanyakan berupa puisi empat seuntai. Tiap-tiap barisnya terdiri atas dua periodus dan terdiri atas sebuah gatra (kesatuan sintaktis). Tiap gatranya pada umumnya terdiri atas dua kata. Pilihan katanya menggunakan “kata-kata Pujangga” atau “bahasa nan indah”. Gaya ekpresinya beraliran romantik. Gaya sajak Pujangga Baru diafan atau polos, tidak mempergunakan kata-kata kiasan yang bermakna ganda, kata-katanya serebral, hubungan antar kalimatnya jelas. Unsur Ekstra Estetik   bercirikan isinya tentang kehidupan masyarakat kota, seperti masalah percintaan dan masalah individu manusia, nasionalisme dan cita-cita kebangsaan banyak mengisi sajak-sajak Pujangga Baru, keagamaan menonjol, curahan perasaan atau curahan jiwa tampak. Sifat didaktis masih tampak kuat.
Secara umum karaterisrik dari periode Angkatan Pujangga Baru adalah sebagai berikut : tema pokok cerita tidak lagi berkisar pada masalah adat, tetapi masalah kehidupan kota atau modern. Terdapat sifat kebangsaan atau unsur nasional.  Bebas dalam menentukan bentuk dan isi. Adanya kebebasan ini merangsang tumbuhnya keanekaragaman karya sastra, seperti novel, cerpen, puisi, kritik dan esai. Bahasa sastra Pujangga Baru adalah bahasa Indonesia yang hidup dalam masyarakat, seperti kosa kata, kalimat dan ungkapan-ungkapan yang digunakan baru dan hidup. Romantik idealisme menjadi cirinya juga. Dalam melukiskan sesuatu dengan bahasa yang indah-indah, secara berlebihan. Pengaruh asing yang cukup kuat dari negeri Belanda
Dalam majalah Pujangga Baru diterbitkan juga kritik dan esai-esai tentang problemik kebudayaan, pendidikan, kesenian dan sastra. Kritik dan esai-esai kebudayaan yang di muat dalam majalah Pujangga Baru dikumpulkan oleh Achdiat Kartamiharja dan diterbitkan pada tahun 1949 dengan judul “ Polemik Kebudayaan “
Beberapa sastrawan angkatan Pujangga Baru antara lain :
1.       Sutan Takdir Alisjahbana (Dian Tak Kunjung Padam, Tebaran Mega ( kumpulan sajak) Layar Terkembang, Anak Perawan di Sarang Penyamun)
2.       Hamka (Di Bawah Lindungan Ka'bah, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Tuan Direktur ,    Didalam Lembah Kehidoepan)
3.       Armijn Pane (Belenggu, Jiwa Berjiwa, Gamelan Djiwa (kumpulan sajak) Djinak-djinak Merpat (sandiwara) Kisah Antara Manusia (kumpulan cerpen)
4.       Sanusi Pane (Pancaran Cinta, Puspa Mega, Madah Kelana , Sandhyakala Ning Majapahit, Kertajaya
5.       Tengku Amir Hamzah (Nyanyi Sunyi, Begawat Gita, Setanggi Timur),
6.       Roestam Effendi (Bebasari, Pertjikan Permenungan),
7.       Sariamin Ismail (Kalau Tak Untung, Pengaruh Keadaan, Anak Agung Pandji Tisna, Ni Rawit Ceti Penjual Orang, Sukreni Gadis Bali)
8.       J.E.Tatengkeng (Rindoe Dendam)
9.       Fatimah Hasan Delais (Kehilangan Mestika)
10.    Said Daeng Muntu (Pembalasan, Karena Kerendahan Boedi )
11.    Karim Halim (Palawija)


Pada zaman pendudukan Jepang majalah Pujangga Baru ini dilarang oleh pemerintah Jepang dengan alasan karena kebarat-baratan. Namun setelah Indonesia merdeka, majalah ini diterbitkan lagi pada ahun 1948 dengan pemimpin Redaksi Sutan Takdir Alisjahbana dan beberapa tokohtokoh angkatan 45 seperti Asrul Sani, Rivai Apin dan S. Rukiah.

Angkatan 45
Tokoh-tokoh angkatan 45 adalah sastrawan-sastrawan yang hidup dan lahir pada masa revolusi kemerdekaan dan masa-masa itu sangat mempengaruhi karakteristik karya-karya sastra mereka. Pada masa kehidupan sastra angkatan ’45, kita ketahui berbagai macam peristiwa terjadi.  Angkatan ’45 dimulai sejak tahun 1942, tetapi angkatan ini tidak dinamai dengan Pujangga Angkatan ’42  adalah karena golongan ini diberi nama kemudian, yaitu setelah proklamasi kemerdekaan Rosihan Anwar mengusulkan untuk memberi nama angkatan ini  dengan nama : Pujangga Angkatan ’45. Yang setelahnya mendapat dukungan publik, meskipun beberapa kritikus mengkritknya dengan keras. Sebelumnya angkatan ini disebut Pujangga Gelanggang, karena mereka menulis dalam rubrik majalah Siasat , dalam rubrik Gelanggang.
Seperti sudah disampaikan sebelumnya pada awal tulisan ini bahwa karakteristik karya sastra pada setiap angkatan sastra dipengaruhi oleh karakteristik jamannya. Karya sastra angkatan 45 dipengaruhi oleh beberapa peristiwa penting yang secara signifikan mempengaruhi karakteristiknya. Peristiwa penting yang terjadi yaitu : Penjajahan Jepang (1942—1945),  Proklamasi kemerdekaan (17 Agustus 1945),  Agresi Militer Belanda I dan II (21 Juli 1949 dan 18 Desember 1948), Penyerahan kedaulatan RI (12 Desember 1949),  Gebrakan Chairil Anwar dengan bahasa puisinya yang pendek, padat, berbobot, dan bernas dan struktur puisinya yang menyimpang dari pola sastra sebelumnya,  Diumumkannya Surat Kepercayaan Gelanggang pada 23 Oktober 1950.
Dengan latar belakang seperti yang telah diuraikan maka karya sastra angkatan 45 meunjukan karakteristik sebagai berikut : Revolusioner dalam bentuk dan isi. Membuang tradisi lama dan menciptakan bentuk baru sesuai dengan getaran sukmanya yang merdeka, mengutamakan isi dalam pencapaian tujuan yang nyata. Karena itu bahasanya pendek, terpilih, padat berbobot. Dalam proses mencari dan menemukan hakikat hidup. Seni adalah sebagai sarana untuk menopang manusia dan dunia yang sedalam-dalamnya, Ekspresionis, mengutamakan ekspresi yang jernih. Individualis, lebih mengutamakan cara-cara pribadi. Humanisme universal, bersifat kemanusiaan umum. Indonesia dibawa dalam perjuangan keadilan dunia.Tidak terikat oleh konvesi masyarakat yang penting adalah melakukan segala percobaan dengan kehidupan dalam mencapai nilai kemansiaan dan perdamaian dunia. Tema yang dibicarakan: humanisme, sahala (martabat manusia), penderitaan rakyat, moral, keganasan perang dengan keroncongnya perut lapar.
Secara singkat dapat dilihat bahwa angkatan 45 berkarater : terbuka,  bercorak isi realis dan naturalis, meninggalkan corak romantis, menonjolkan individualismenya, menggunakan sedikit kata, ekspresif dan spontan, terlihat sinisme dan sarkasme, Menerima pengaruh unsur sastra asing lebih luas dibandingkan angkatan sebelumnya
Sastrawan-sastrawan angkatan 45 antara lain :
1. Chairil Anwar (Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan Yang Putus ,Deru Campur Debu )
2.  Idrus (Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma , Aki )
3.  Pramoedya Ananta Toer (Cerita dari Blora, Keluarga Gerilya)
4.  Mochtar Lubis (Tidak Ada Esok , Harimau! Harimau!, )
5.  Utuy Tatang Sontani (Suling )
6.  Achdiat K. Mihardja (Atheis )

Angkatan '45 memiliki konsep seni yang diberi judul "Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam. Perjalanan angkatan 45 berlanjut hingga menjelang tahun 1950-an dan mulai tergeser dengan munculnya angkatan 1950 – 1960an.

(Diambil dari  rubrik Kajian Sastra majalah Purakasastra Edisi 1)


“Menulis tidak ditentukan oleh bakat. Bakat hanya memberikan kontribusi sebesar 10% sedangkan 90% adalah kemauan! Lalu action!

Penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Setiap pembaca yang baik namun tidak pernah menulis, dapat disimpulkan dia tidak punya kemauan. Aneh jika ada seorang penulis tidak biasa membaca. Untuk terjun ke dunia kepenulisan, syarat utamanya adalah wajib membiasakan diri untuk membaca. Membaca apa saja yang bisa dibaca. Setelah lalu lintas peristiwa, maka bacaan merupakan gudang ide terbesar kedua. Jadi sedikit action saja maka anda sudah menulis.

LANGKAH AWAL

Setelah ada kemauan, lalu bagaimana memulainya? Berikut ada tiga tips sederhana yang bisa dicoba:

1.      Memilih Topik.
Pilih topik yang ringan-ringan saja dulu. Atau anda mau menulis esai atau cerpen misalnya? Tulis saja dulu. Tidak apa-apa berantakan. Tidak usah perhatikan plot, awal, tengah, maupun endingnya. Editing berada dalam kekuasaan anda nantinya. Kapan saja anda mau.

2.      Membuat kerangka tulisan.
Membuat kerangka tulisan bertujuan untuk membatasi apa yang harus kita tulis.

3.      Tulis kalimat pertama sesederhana mungkin.
Tidak usah terlalu terbebani kalimat itu harus bagus dan menarik.

4.      Menabung kosa kata.
Semakin banyak membaca maka kosa kata anda semakin banyak.

5.      Jangan menulis sambil mengedit.
Editing ada bagiannya tersendiri, setelah anda selesai menulis dan membacanya berulangkali.


PROSES KREATIF

Berikut merupakan tips yang bisa digunakan ketika anda mulai rajin menulis atau paling tidak anda telah mencoba menulis.

1. Biasakan Menulis Kalimat Singkat.
Kalimat pendek rata-rata berjumlah 10 kata atau kurang  Pangkas kata sifat dan kata keterangan yang tidak ekonomis. Biasakan memilih kata ‘dan’ ketimbang tanda ‘koma’. Mengapa kalimat pendek ? Otak manusia punya keterbatasan dalam mencerna kalimat panjang dan lebih mudah menyerap informasi dalam bentuk kalimat pendek.

2. Biasakan Menulis Paragraf Pendek.
Idealnya tiap paragraf hanya berisi satu ide pokok. Cara ini membantu pembaca mencerna informasi. Paragraf pendek tercipta dengan sendirinya bila kita menulis dengan jelas dan mudah dimengerti.
3. Biasakan Kalimat Positif.
Kalimat positif mudah dicerna. Kecuali jika anda ingin segera tampil sebagai penulis hebat dengan kalimat-kalimat yang rumit dan kelihatan hebat.
Pada dasarnya itu adalah cara mengatakan tentang sesuatu secara langsung daripada memilih mengatakannya dengan cara berlawanan. Contohnya:
Kalimat positif : “Mahasiswa melakukan demonstrasi menolak rencana kenaikan BBM.”
Kalimat negatif : “Mahasiswa melakukan demonstrasi sebab mereka tidak setuju dengan rencana pemerintah menaikkan BBM.”

MEREPRODUKSI IDE

Bagaimana cara mendapatkan Ide untuk menulis ketika Anda sudah mulai terbiasa menulis?

Hal sederhana dalam menulis untuk penulis pemula adalah hal penting, termasuk menyederhanakan cara mendapatkan ide. Berikut adalah beberapa jalan munculnya ide:

1.    Ide muncul dari kebiasaan kita sehari – hari
2.    Ide muncul dari tetangga yang sering mabuk
3.    Ide muncul dari  curhat teman baik
4.    Ide muncul dari orang yang terhimpit di bis untuk berangkat ke kantor
5.    Ide muncul ketika melihat pak Hansip sedang tertidur pulas di posnya
6.    Ide muncul ketika caleg-caleg gagal masuk rumah sakit jiwa.
7.    Ide muncul ketika melihat pelacur pulang larut malam.
8.    Dan masih jutaan ide yang bisa Anda kembangkan sendiri dengan menggunakan kreatifitas, dan gaya kepenulisan Anda.

Banyak sekali ide yang bisa kita dapatkan untuk menulis. Hanya saja terkadang kita kurang peka dengan diri kita dan lingkungan. Dari sekian banyak ide untuk menulis maka imajinasi adalah cara yang paling kreatif. Berdasarkan pengalaman pribadi, imajinasi bisa didapatkan dari pengalaman hidup atau bacaan-bacaan yang kita baca. Sebenarnya proses mengasah imajinasi ini idealnya dari waktu kita kecil. Namun sayang imajinasi kita sejak kecil sudah dibunuh oleh lingkungan pendidikan yang ada. Tapi tidak ada kata terlambat bagi orang yang mau belajar menulis..
Tahukah anda? Di saat sedang menulis artikel ini sebenarnya saya juga masih sedang belajar menulis. Dan bertekad akan terus belajar. Selamat menulis. Action!(*)


           * Penulis kadang menggunakan nama samaran Ivan Kavalera di wilayah literasi dan siaran radio. Pendiri dan Penggiat literasi Rumah Putih, Bulukumba Sulawesi Selatan. Penulis buku Inspiring Bulukumba (Mafazamedia, 2014), Samindara, Antologi Cerita Rakyat Bulukumba (Mafazamedia, 2014), bersama penulis lainnya dalam: Love Never Fails (antologi 200 cerpenis Nusantara, NulisBukuCom, 2014); Rumah Putih, Antologi Puisi Serumah (Ombak, 2013); dan, Sebuah Obituari: Ahyar Anwar Yang Menidurkan dan Membangunkan Cinta (kumpulan esai, Ombak, 2013).



(Diambil dari Rubrik Lentera Sastra majalah Purakasastra Edisi 1)

Pengunjung

PURAKASASTRA. Powered by Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Terpopuler