Oleh : Tiwi
Sudartinah
Setiap karya sastra sangat dipengaruhi oleh
latar belakang penciptanya karena setiap pencipta hidup pada masa yang berbeda
Oleh sebab itu karya sastra yang dihasilkan pada masa yang berbeda akan
memiliki karakteristik yang berbeda pula. Hal ini disebabkan oleh karakteristik
masyarakat yang berbeda dan juga karakteritik wawasan estetika yang berbeda
pula. Dan bicara tentang karakteritik sastra tidak akan lepas dari
periode-periode perkembangan sastra yang berubah dari waktu ke waktu. Rangkaian
periode-periode sastra itu saling bertumpang-tindih, artinya sebelum angkatan
kemarin atau angkatan lama lenyap, maka timbul benih-benih baru yang lebih
kritis dan kreatif secara bertahap akan diterima oleh masyarakat dan
menggantikan angkatan sebelumnya.
Karakteristik karya sastra satu angkatan
dipengaruhi oleh karakteristik jamannya. Beberapa angkatan sastra di Indonesia
dengan mengacu pada penulisan sejarah sastra menunjuk adanya angkatan angkatan
antara lain : Angkatan Pujangga Lama, Angkatan Sastra Melayu Lama, Angkatan
Balai Pustaka (angkatan 20-an), Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 1945, Angkatan
1950 - 1960-an, Angkatan 1966 - 1970-an, Angkatan 1980 - 1990-an, Angkatan
Reformasi, Angkatan 2000-an dan tentunya akan terus berkembang seiring
berkembangnya jaman.
Pada kajian ini kita akan
membedah 3 diantara begitu banyaknya angkatan berdasarkan jaman dan
karakteristik yang khas dari angkatan tersebut.
Angkatan Balai Pustaka
Balai Pustaka
merupakan suatu angkatan dalam periodisasi sastra yang terkenal dengan sebutan
angkatan pembangkit karena lahir pada masa kebangkitan sastra Indonesia yaitu
pada periode tahun 1920 sampai tahun 1942. Namun Balai Pustaka juga dikenal
sebagai nama sebuah penerbit yang memang keberadaannya menunjang penerbitan
sastra-sastra pada masa itu. Angkatan Balai Pustaka atau disebut angkatan 20 an
dan popular juga dengan sebutan angkatan Siti Nurbaya.
Balai Pustaka memberikan pengaruh yang cukup
besar terhadap perkembangan sastra Indonesia dengan keberadaanya maka sastrawan
Indonesia dapat melontarkan apa yang menjadi beban pikirannya melalui tulisan
yang dapat dinikmati oleh dirinya sendiri dan juga orang lain (penikmat
sastra). Balai Pustaka mempunyai tujuan untuk memberikan konsumsi berupa bacaan
kepada rakyat yang berisi tentang politik pemerintahan kolonial, serta praktek
nyatanya yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat lokal. Sehingga secara
perlahan tapi pasti, menyulut kesadaran rasa nasionallisme dan patriotisme..
Hal ini diperlihatkan melalui karya sastra yang telah mempergunakan bahasa
persatuan Indonesia, dengan tanpa maksud
meninggalkan adat istiadatnya. Malah
sebaliknya dengan keaneka-ragaman
adat-istiadat menjadikannya sebagai alat untuk mempersatukan bangsa Indonesia.
Berdasarkan hal
tersebut maka sifat-sifat khas angkatan Balai Pustaka adalah:
-
Sebagian besar karya sastra angkatan Balai
Pustaka bercorak romantic dan mengambil tema masalah kawin paksa (Menurut
masyarakat paada masa itu perkawinan adalah urusan orang tua, pihak orang tua
berkuasa sepenuhnya untuk menjodohkan anaknya). –
-
Latar belakang sosial sastra angkatan Balai
Pustaka berupa pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum tua. Kita bisa
mengambil contoh novel Salah Asuhan, Si Cebol Rindukan Bulan, yang memiliki
kecenderungan simpati kepada yang lama, bahwa yang baru tidak semuanya membawa
kebaikan.
-
Unsur nasionalitas pada sastra Balai Pustaka
belum jelas. Pelaku-pelaku novel angkatan Balai Pustaka masih mencerminkan
kehidupan tokoh-tokoh yang berasal dari daerah-daerah. Peristiwa yang
diceritakan sesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.
-
Analisis psikologis pelakunya belum dilukiskan
secara mendalam.
Sastra Balai Pustaka merupakan sastra
bertendes dan bersifat didaktis yaitu lebih cenderung pada sesuatu khususnya
mengenai permasalahan diatas sehingga terlihat seolah-olah karyanya hanya
itu-itu saja/monoton.
-
Bahasa sastra Balai Pustaka adalah bahasa
Indonesia pada masa permulaan perkembangan yang pada masa itu disebut bahasa
melayu umum dan masih menggunakan banyak perumpamaan dalam gaya bahasanya.
-
Genre sastra Balai Pustaka berbentuk novel,
sedangkan puisinya masih berupa pantun dan syair.
Secara ringkas
karakteristik angkatan Balai Pustaka adalah . Bahasa sastra Balai Pustaka
adalah bahasa Indonesia pada masa permulaan perkembangan yang disebut bahasa
melayu umum. Gaya Bahasa yang dipergunakan masih banyak menggunakan perumpamaan
atau kiasan. Tokoh-tokoh (pelaku-pelaku)nya masih menunjukkan asal daerah dengn
peristiwa sesuai realitas kehidupan masyarakat. Penggambaran psikologis
tokoh/pelaku tidak mendalam. Selain itu, merupakan sastra bertendes dan
bersifat didaktis hingga terlihat monoton. Genre sastra berbentuk novel dengan
puisi masih berbentuk syair dan pantun.
Beberapa
Tokoh-tokoh angkatan Balai Pustaka antara lain :
1.
Nur Sutan Iskandar Lahir di
Maninjau tahun 1893 ( Salah pilih, Hulubalang Raja, Cinta dan Kewajiban
(dikarang bersama dengan I.Wairata) dan lain lain).
2.
Abdul Muis, Lahir di Minangkabau (Salah
Asuhan, Pertemuan Jodoh, Suropati (novel sejarah)),
3.
Marah Rusli Lahir di Padang 7 Agustus 1989 dan
meninggal di Bandung 17 Januari 1968. (Siti Nurbaya, Anak dan Kemenakan, Memang
Jodoh – La Harni
4.
Aman Datuk Majaindo Lahir di Solok pada tahun
1896. (Si Doel Anak Betawi (cerita anak-anak), Anak Desa (cerita anak-anak), Si
Cebol Rindukan Bulan Menebus Dosa, Syair Si Banso (Gadis Durhaka) Kumpulan
Syair, Syair Gul Bakawali - Kumpulan Syair.)
5.
Muhammad Kasim Lahir tahun 1886 (Pemandangan
Dunia Anak-anak, Teman Dukun (kumpulan cerpen), Muda Terung, Pengeran Hindi,
Niki Bahtera).
6.
Tulis Sutan Sati (Tidak Membalas Guna,
Sengsara Membawa Nikmat,
7.
Selasih sering memakai nama samaran
Seleguri atau Sinamin. Lahir tahun 1909 (Kalau Tak Ujung ,Pengaruh Keadaan)
8.
Sa’adam Alim ( Pembalasannya (sebuah
sandiwara), Taman Penghibur Hati (kumpulan cerpen
9.
Merari Siregar ( Azab dan Saengsara)
10.
I Gusti Njoman Pandji Tisna (Ni Rawi Ceti
Penjual Orang, I Swasta Setahun di Bedahulu, Sukreni Gadis Bali, Dewi Karuna, I
Made Widiadi (Kembali Kepada Tuhan))
11.
Paulus Supit ( Kasih Ibu)
12.
Suman H.S Lahir di Bengkalis (Kasih Tak
Terlarai, Percobaan Setia, Mencari Pencuri Anak Perawan, Kawan Bergelut
(Kumpulan Cerpen).
13.
H.S.Muntu(Pembalasan,
KarenaKerendahanBudi.)
Dalam perjalanannya penerbit Balai
Pustaka banyak melakukan sensor terhadap karya-karya sastra untuk diterbitkan.
Karya sastra yang dianggap tidak sesuai dengan tujuannya tidak akan
diterbitkan. Dengan semakin banyaknya
karya yang disensor oleh penerbit Balai Pustaka maka muncul reaksi dari
para sastrawan.
Angkatan
Pujangga Baru
Angkatan Pujangga Baru, muncul pada tahun 30-an, dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor
yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa
tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan
kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual,
nasionalistik dan elitis.
Pujangga baru semula adalah nama majalah sastra dan kebudayaan
yang diterbitkan oleh penerbit Pustaka Rakyat, antara tahun 1933 sampai dengan
adanya pelarangan oleh pemerintah Jepang setelah tentara Jepang berkuasa di
Indonesia. Adapun pengasuhnya antara lain Sultan Takdir Alisjahbana, Armaijn
Pane , Amir Hamzah dan Sanusi Pane. Sastrawan yang hasil karyanya pernah dimuat
dalam majalah itu, dinilai memiliki bobot dan cita-cita kesenian yang
baru,hanya untuk memudahkan ingatan adanya angkatan baru itulah maka dipakai
istilah Angkatan Pujangga Baru, yang tak lain adalah orang-orang yang
tulisan-tulisannya pernah dimuat didalam majalah tersebut.
Pada masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu :
1.
Kelompok “Seni
untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah
2.
Kelompok “Seni
untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana,
Armijn Pane dan Rustam Effendi.
Pada angkatan pujangga baru terjadi sedikit perubahan dari
angkatan Balai Pustaka, dimana karya-karya sastra yang lahir dalam angkatan ini
mulai memancarkan jiwa yang dinamis, individualistis, dan tidak terikat dengan
tradisi, serta seni harus berorientasi pada kepentingan masyarakat. Kebudayaan
masyarakat saat itu bersifat dinamis. Sumbangan yang terpenting dari angkatan
Pujangga Baru dalam perkembangan sastra Indonesia adalah pembaharuan di bidang
puisi, roman dalam bentuk novel mulai diperkenalkan para sastrawan. Di samping
itu, tulisan-tulisan dalam bentuk esai dan kritik merupakan sesuatu yang baru,
yang digunakan untuk memajukan kebudayaan dan sastra Indonesia
Angkatan 33 (Pujangga Baru) terdiri dari sejumlah sastrawan yang
memiliki keaneka-ragaman suku bangsa, agama, kepercayaan yang tersebar di
seluruh Indonesia. Mereka mempunyai cita-cita yang sama, yaitu membentuk
kebudayaan baru, kebudayaan Indonesia. Dalam memajukan kebudayaan, khususnya
sastra Indonesia. Para sastrawan menerima pengaruh secara eksternal. Sementara
itu pengaruh internal juga cukup kuat, maka terjadi akulturasi budaya, yaitu
pergeseran budaya di bidang sastra. Para sastrawan yang sebelumnya banyak
berfikir soal kedaerahan, sejak jaman Pujangga Baru mulai mengarah pada hal-hal
yang bersifat nasional dan universal.
Pada angkatan Pujangga Baru karya sastra yang berbentuk puisi
terlihat ada dua unsur yaitu unsur estetik dan unsur ekstra Estetik. Unsur
estetik puisi pujangga baru bercirikan bentuknya yang teratur rapi, simetris. Mempunyai persajakan
akhir. Banyak menggunakan pola sajak pantun dan syair meskipun ada pola yang
lain, kebanyakan berupa puisi empat seuntai. Tiap-tiap barisnya terdiri atas
dua periodus dan terdiri atas sebuah gatra (kesatuan sintaktis). Tiap gatranya
pada umumnya terdiri atas dua kata. Pilihan katanya menggunakan “kata-kata
Pujangga” atau “bahasa nan indah”. Gaya ekpresinya beraliran romantik. Gaya
sajak Pujangga Baru diafan atau polos, tidak mempergunakan kata-kata kiasan
yang bermakna ganda, kata-katanya serebral, hubungan antar kalimatnya jelas.
Unsur Ekstra Estetik bercirikan isinya tentang kehidupan masyarakat
kota, seperti masalah percintaan dan masalah individu manusia, nasionalisme dan
cita-cita kebangsaan banyak mengisi sajak-sajak Pujangga Baru, keagamaan
menonjol, curahan perasaan atau curahan jiwa tampak. Sifat didaktis masih
tampak kuat.
Secara umum karaterisrik dari periode Angkatan Pujangga Baru
adalah sebagai berikut : tema pokok cerita tidak lagi berkisar pada masalah
adat, tetapi masalah kehidupan kota atau modern. Terdapat sifat kebangsaan atau
unsur nasional. Bebas dalam menentukan
bentuk dan isi. Adanya kebebasan ini merangsang tumbuhnya keanekaragaman karya
sastra, seperti novel, cerpen, puisi, kritik dan esai. Bahasa sastra Pujangga
Baru adalah bahasa Indonesia yang hidup dalam masyarakat, seperti kosa kata,
kalimat dan ungkapan-ungkapan yang digunakan baru dan hidup. Romantik idealisme
menjadi cirinya juga. Dalam melukiskan sesuatu dengan bahasa yang indah-indah,
secara berlebihan. Pengaruh asing yang cukup kuat dari negeri Belanda
Dalam majalah Pujangga Baru diterbitkan juga kritik dan esai-esai
tentang problemik kebudayaan, pendidikan, kesenian dan sastra. Kritik dan
esai-esai kebudayaan yang di muat dalam majalah Pujangga Baru dikumpulkan oleh
Achdiat Kartamiharja dan diterbitkan pada tahun 1949 dengan judul “ Polemik
Kebudayaan “
Beberapa sastrawan angkatan Pujangga Baru antara lain :
1.
Sutan Takdir
Alisjahbana (Dian Tak Kunjung Padam, Tebaran Mega ( kumpulan sajak) Layar
Terkembang, Anak Perawan di Sarang Penyamun)
2.
Hamka (Di Bawah
Lindungan Ka'bah, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Tuan Direktur
, Didalam Lembah Kehidoepan)
3.
Armijn Pane
(Belenggu, Jiwa Berjiwa, Gamelan Djiwa (kumpulan sajak) Djinak-djinak Merpat
(sandiwara) Kisah Antara Manusia (kumpulan cerpen)
4.
Sanusi Pane
(Pancaran Cinta, Puspa Mega, Madah Kelana , Sandhyakala Ning Majapahit,
Kertajaya
5.
Tengku Amir
Hamzah (Nyanyi Sunyi, Begawat Gita, Setanggi Timur),
6.
Roestam Effendi
(Bebasari, Pertjikan Permenungan),
7.
Sariamin Ismail
(Kalau Tak Untung, Pengaruh Keadaan, Anak Agung Pandji Tisna, Ni Rawit Ceti
Penjual Orang, Sukreni Gadis Bali)
8.
J.E.Tatengkeng
(Rindoe Dendam)
9.
Fatimah Hasan
Delais (Kehilangan Mestika)
10.
Said Daeng Muntu
(Pembalasan, Karena Kerendahan Boedi )
11.
Karim Halim
(Palawija)
Pada zaman pendudukan Jepang majalah Pujangga Baru ini dilarang
oleh pemerintah Jepang dengan alasan karena kebarat-baratan. Namun setelah
Indonesia merdeka, majalah ini diterbitkan lagi pada ahun 1948 dengan pemimpin
Redaksi Sutan Takdir Alisjahbana dan beberapa tokohtokoh angkatan 45 seperti
Asrul Sani, Rivai Apin dan S. Rukiah.
Angkatan
45
Tokoh-tokoh angkatan 45 adalah sastrawan-sastrawan yang hidup dan
lahir pada masa revolusi kemerdekaan dan masa-masa itu sangat mempengaruhi
karakteristik karya-karya sastra mereka. Pada masa kehidupan sastra angkatan ’45,
kita ketahui berbagai macam peristiwa terjadi.
Angkatan ’45 dimulai sejak tahun 1942, tetapi angkatan ini tidak dinamai
dengan Pujangga Angkatan ’42 adalah
karena golongan ini diberi nama kemudian, yaitu setelah proklamasi kemerdekaan
Rosihan Anwar mengusulkan untuk memberi nama angkatan ini dengan nama : Pujangga
Angkatan ’45. Yang setelahnya mendapat dukungan publik, meskipun beberapa
kritikus mengkritknya dengan keras. Sebelumnya angkatan ini disebut Pujangga
Gelanggang, karena mereka menulis dalam rubrik majalah Siasat , dalam
rubrik Gelanggang.
Seperti sudah
disampaikan sebelumnya pada awal tulisan ini bahwa karakteristik karya sastra
pada setiap angkatan sastra dipengaruhi oleh karakteristik jamannya. Karya
sastra angkatan 45 dipengaruhi oleh beberapa peristiwa penting yang secara signifikan
mempengaruhi karakteristiknya. Peristiwa penting yang terjadi yaitu :
Penjajahan Jepang (1942—1945),
Proklamasi kemerdekaan (17 Agustus 1945), Agresi Militer Belanda I dan II (21 Juli 1949
dan 18 Desember 1948), Penyerahan kedaulatan RI (12 Desember 1949), Gebrakan Chairil Anwar dengan bahasa puisinya
yang pendek, padat, berbobot, dan bernas dan struktur puisinya yang menyimpang
dari pola sastra sebelumnya, Diumumkannya
Surat Kepercayaan Gelanggang pada 23 Oktober 1950.
Dengan latar
belakang seperti yang telah diuraikan maka karya sastra angkatan 45 meunjukan
karakteristik sebagai berikut : Revolusioner dalam bentuk dan isi. Membuang
tradisi lama dan menciptakan bentuk baru sesuai dengan getaran sukmanya yang
merdeka, mengutamakan isi dalam pencapaian tujuan yang nyata. Karena itu
bahasanya pendek, terpilih, padat berbobot. Dalam proses mencari dan menemukan
hakikat hidup. Seni adalah sebagai sarana untuk menopang manusia dan dunia yang
sedalam-dalamnya, Ekspresionis, mengutamakan ekspresi yang jernih.
Individualis, lebih mengutamakan cara-cara pribadi. Humanisme universal,
bersifat kemanusiaan umum. Indonesia dibawa dalam perjuangan keadilan
dunia.Tidak terikat oleh konvesi masyarakat yang penting adalah melakukan
segala percobaan dengan kehidupan dalam mencapai nilai kemansiaan dan
perdamaian dunia. Tema yang dibicarakan: humanisme, sahala (martabat manusia),
penderitaan rakyat, moral, keganasan perang dengan keroncongnya perut lapar.
Secara singkat
dapat dilihat bahwa angkatan 45 berkarater : terbuka,
bercorak isi realis dan naturalis, meninggalkan corak romantis, menonjolkan
individualismenya, menggunakan sedikit kata, ekspresif dan spontan, terlihat
sinisme dan sarkasme, Menerima pengaruh unsur sastra asing lebih luas
dibandingkan angkatan sebelumnya
Sastrawan-sastrawan
angkatan 45 antara lain :
1. Chairil Anwar
(Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan Yang Putus ,Deru Campur Debu )
2.
Idrus (Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma , Aki )
3.
Pramoedya Ananta Toer (Cerita dari Blora, Keluarga Gerilya)
4.
Mochtar Lubis (Tidak Ada Esok , Harimau! Harimau!, )
5. Utuy
Tatang Sontani (Suling )
6.
Achdiat K. Mihardja (Atheis )
Angkatan
'45 memiliki konsep seni yang diberi judul "Surat Kepercayaan
Gelanggang". Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin
bebas berkarya sesuai alam. Perjalanan
angkatan 45 berlanjut hingga menjelang tahun 1950-an dan mulai tergeser dengan
munculnya angkatan 1950 – 1960an.
(Diambil dari rubrik Kajian Sastra majalah Purakasastra Edisi 1)
0 comments:
Post a Comment