Sunday, August 24, 2014


Oleh : Tiwi Sudartinah


Setiap karya sastra sangat dipengaruhi oleh latar belakang penciptanya karena setiap pencipta hidup pada masa yang berbeda Oleh sebab itu karya sastra yang dihasilkan pada masa yang berbeda akan memiliki karakteristik yang berbeda pula. Hal ini disebabkan oleh karakteristik masyarakat yang berbeda dan juga karakteritik wawasan estetika yang berbeda pula. Dan bicara tentang karakteritik sastra tidak akan lepas dari periode-periode perkembangan sastra yang berubah dari waktu ke waktu. Rangkaian periode-periode sastra itu saling bertumpang-tindih, artinya sebelum angkatan kemarin atau angkatan lama lenyap, maka timbul benih-benih baru yang lebih kritis dan kreatif secara bertahap akan diterima oleh masyarakat dan menggantikan angkatan sebelumnya.
Karakteristik karya sastra satu angkatan dipengaruhi oleh karakteristik jamannya. Beberapa angkatan sastra di Indonesia dengan mengacu pada penulisan sejarah sastra menunjuk adanya angkatan angkatan antara lain : Angkatan Pujangga Lama, Angkatan Sastra Melayu Lama, Angkatan Balai Pustaka (angkatan 20-an), Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 1945, Angkatan 1950 - 1960-an, Angkatan 1966 - 1970-an, Angkatan 1980 - 1990-an, Angkatan Reformasi, Angkatan 2000-an dan tentunya akan terus berkembang seiring berkembangnya jaman.
Pada kajian ini kita akan membedah 3 diantara begitu banyaknya angkatan berdasarkan jaman dan karakteristik yang khas dari angkatan tersebut.

Angkatan Balai Pustaka
Balai Pustaka merupakan suatu angkatan dalam periodisasi sastra yang terkenal dengan sebutan angkatan pembangkit karena lahir pada masa kebangkitan sastra Indonesia yaitu pada periode tahun 1920 sampai tahun 1942. Namun Balai Pustaka juga dikenal sebagai nama sebuah penerbit yang memang keberadaannya menunjang penerbitan sastra-sastra pada masa itu. Angkatan Balai Pustaka atau disebut angkatan 20 an dan popular juga dengan sebutan angkatan Siti Nurbaya.

Balai Pustaka memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan sastra Indonesia dengan keberadaanya maka sastrawan Indonesia dapat melontarkan apa yang menjadi beban pikirannya melalui tulisan yang dapat dinikmati oleh dirinya sendiri dan juga orang lain (penikmat sastra). Balai Pustaka mempunyai tujuan untuk memberikan konsumsi berupa bacaan kepada rakyat yang berisi tentang politik pemerintahan kolonial,  serta praktek nyatanya yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat lokal. Sehingga secara perlahan tapi pasti, menyulut kesadaran rasa nasionallisme dan patriotisme.. Hal ini diperlihatkan melalui karya sastra yang telah mempergunakan bahasa persatuan Indonesia, dengan tanpa maksud meninggalkan adat istiadatnya. Malah sebaliknya  dengan keaneka-ragaman adat-istiadat menjadikannya sebagai alat untuk mempersatukan bangsa Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut maka sifat-sifat khas angkatan Balai Pustaka adalah:
-          Sebagian besar karya sastra angkatan Balai Pustaka bercorak romantic dan mengambil tema masalah kawin paksa (Menurut masyarakat paada masa itu perkawinan adalah urusan orang tua, pihak orang tua berkuasa sepenuhnya untuk menjodohkan anaknya).  –
-          Latar belakang sosial sastra angkatan Balai Pustaka berupa pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum tua. Kita bisa mengambil contoh novel Salah Asuhan, Si Cebol Rindukan Bulan, yang memiliki kecenderungan simpati kepada yang lama, bahwa yang baru tidak semuanya membawa kebaikan.
-          Unsur nasionalitas pada sastra Balai Pustaka belum jelas. Pelaku-pelaku novel angkatan Balai Pustaka masih mencerminkan kehidupan tokoh-tokoh yang berasal dari daerah-daerah. Peristiwa yang diceritakan sesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.

-          Analisis psikologis pelakunya belum dilukiskan secara mendalam. 

Sastra Balai Pustaka merupakan sastra bertendes dan bersifat didaktis yaitu lebih cenderung pada sesuatu khususnya mengenai permasalahan diatas sehingga terlihat seolah-olah karyanya hanya itu-itu saja/monoton.
-          Bahasa sastra Balai Pustaka adalah bahasa Indonesia pada masa permulaan perkembangan yang pada masa itu disebut bahasa melayu umum dan masih menggunakan banyak perumpamaan dalam gaya bahasanya.
-          Genre sastra Balai Pustaka berbentuk novel, sedangkan puisinya masih berupa pantun dan syair.

Secara ringkas karakteristik angkatan Balai Pustaka adalah . Bahasa sastra Balai Pustaka adalah bahasa Indonesia pada masa permulaan perkembangan yang disebut bahasa melayu umum. Gaya Bahasa yang dipergunakan masih banyak menggunakan perumpamaan atau kiasan. Tokoh-tokoh (pelaku-pelaku)nya masih menunjukkan asal daerah dengn peristiwa sesuai realitas kehidupan masyarakat. Penggambaran psikologis tokoh/pelaku tidak mendalam. Selain itu, merupakan sastra bertendes dan bersifat didaktis hingga terlihat monoton. Genre sastra berbentuk novel dengan puisi masih berbentuk syair dan pantun.

Beberapa Tokoh-tokoh angkatan Balai Pustaka antara lain :
1.       Nur Sutan Iskandar Lahir  di  Maninjau tahun 1893 ( Salah pilih, Hulubalang Raja, Cinta dan Kewajiban (dikarang bersama dengan I.Wairata) dan lain lain).
2.       Abdul Muis, Lahir di Minangkabau (Salah Asuhan, Pertemuan Jodoh, Suropati (novel sejarah)),
3.       Marah Rusli Lahir di Padang 7 Agustus 1989 dan meninggal di Bandung 17 Januari 1968. (Siti Nurbaya, Anak dan Kemenakan, Memang Jodoh – La Harni
4.       Aman Datuk Majaindo Lahir di Solok pada tahun 1896. (Si Doel Anak Betawi (cerita anak-anak), Anak Desa (cerita anak-anak), Si Cebol Rindukan Bulan Menebus Dosa, Syair Si Banso (Gadis Durhaka) Kumpulan Syair, Syair Gul Bakawali - Kumpulan Syair.)
5.       Muhammad Kasim Lahir tahun 1886 (Pemandangan Dunia Anak-anak, Teman Dukun (kumpulan cerpen), Muda Terung, Pengeran Hindi, Niki Bahtera).
6.       Tulis Sutan Sati (Tidak Membalas Guna, Sengsara Membawa Nikmat,
7.        Selasih sering memakai nama samaran Seleguri atau Sinamin. Lahir tahun 1909 (Kalau Tak Ujung ,Pengaruh Keadaan)
8.       Sa’adam Alim ( Pembalasannya (sebuah sandiwara), Taman Penghibur Hati (kumpulan cerpen
9.       Merari Siregar ( Azab dan Saengsara)
10.    I Gusti Njoman Pandji Tisna (Ni Rawi Ceti Penjual Orang, I Swasta Setahun di Bedahulu, Sukreni Gadis Bali, Dewi Karuna, I Made Widiadi (Kembali Kepada Tuhan))
11.    Paulus Supit ( Kasih Ibu)
12.    Suman H.S Lahir di Bengkalis (Kasih Tak Terlarai, Percobaan Setia, Mencari Pencuri Anak Perawan, Kawan Bergelut (Kumpulan Cerpen).
13.     H.S.Muntu(Pembalasan, KarenaKerendahanBudi.)

Dalam perjalanannya penerbit Balai Pustaka banyak melakukan sensor terhadap karya-karya sastra untuk diterbitkan. Karya sastra yang dianggap tidak sesuai dengan tujuannya tidak akan diterbitkan. Dengan semakin banyaknya  karya yang disensor oleh penerbit Balai Pustaka maka muncul reaksi dari para sastrawan.

Angkatan Pujangga Baru

Angkatan Pujangga Baru, muncul pada tahun 30-an, dipelopori   oleh Sutan Takdir Alisyahbana  muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis.
Pujangga baru semula adalah nama majalah sastra dan kebudayaan yang diterbitkan oleh penerbit Pustaka Rakyat, antara tahun 1933 sampai dengan adanya pelarangan oleh pemerintah Jepang setelah tentara Jepang berkuasa di Indonesia. Adapun pengasuhnya antara lain Sultan Takdir Alisjahbana, Armaijn Pane , Amir Hamzah dan Sanusi Pane. Sastrawan yang hasil karyanya pernah dimuat dalam majalah itu, dinilai memiliki bobot dan cita-cita kesenian yang baru,hanya untuk memudahkan ingatan adanya angkatan baru itulah maka dipakai istilah Angkatan Pujangga Baru, yang tak lain adalah orang-orang yang tulisan-tulisannya pernah dimuat didalam majalah tersebut.


Pada masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu :
1.       Kelompok “Seni untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah
2.       Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.
Pada angkatan pujangga baru terjadi sedikit perubahan dari angkatan Balai Pustaka, dimana karya-karya sastra yang lahir dalam angkatan ini mulai memancarkan jiwa yang dinamis, individualistis, dan tidak terikat dengan tradisi, serta seni harus berorientasi pada kepentingan masyarakat. Kebudayaan masyarakat saat itu bersifat dinamis. Sumbangan yang terpenting dari angkatan Pujangga Baru dalam perkembangan sastra Indonesia adalah pembaharuan di bidang puisi, roman dalam bentuk novel mulai diperkenalkan para sastrawan. Di samping itu, tulisan-tulisan dalam bentuk esai dan kritik merupakan sesuatu yang baru, yang digunakan untuk memajukan kebudayaan dan sastra Indonesia
Angkatan 33 (Pujangga Baru) terdiri dari sejumlah sastrawan yang memiliki keaneka-ragaman suku bangsa, agama, kepercayaan yang tersebar di seluruh Indonesia. Mereka mempunyai cita-cita yang sama, yaitu membentuk kebudayaan baru, kebudayaan Indonesia. Dalam memajukan kebudayaan, khususnya sastra Indonesia. Para sastrawan menerima pengaruh secara eksternal. Sementara itu pengaruh internal juga cukup kuat, maka terjadi akulturasi budaya, yaitu pergeseran budaya di bidang sastra. Para sastrawan yang sebelumnya banyak berfikir soal kedaerahan, sejak jaman Pujangga Baru mulai mengarah pada hal-hal yang bersifat nasional dan universal.
Pada angkatan Pujangga Baru karya sastra yang berbentuk puisi terlihat ada dua unsur yaitu unsur estetik dan unsur ekstra Estetik. Unsur estetik puisi pujangga baru bercirikan bentuknya yang  teratur rapi, simetris. Mempunyai persajakan akhir. Banyak menggunakan pola sajak pantun dan syair meskipun ada pola yang lain, kebanyakan berupa puisi empat seuntai. Tiap-tiap barisnya terdiri atas dua periodus dan terdiri atas sebuah gatra (kesatuan sintaktis). Tiap gatranya pada umumnya terdiri atas dua kata. Pilihan katanya menggunakan “kata-kata Pujangga” atau “bahasa nan indah”. Gaya ekpresinya beraliran romantik. Gaya sajak Pujangga Baru diafan atau polos, tidak mempergunakan kata-kata kiasan yang bermakna ganda, kata-katanya serebral, hubungan antar kalimatnya jelas. Unsur Ekstra Estetik   bercirikan isinya tentang kehidupan masyarakat kota, seperti masalah percintaan dan masalah individu manusia, nasionalisme dan cita-cita kebangsaan banyak mengisi sajak-sajak Pujangga Baru, keagamaan menonjol, curahan perasaan atau curahan jiwa tampak. Sifat didaktis masih tampak kuat.
Secara umum karaterisrik dari periode Angkatan Pujangga Baru adalah sebagai berikut : tema pokok cerita tidak lagi berkisar pada masalah adat, tetapi masalah kehidupan kota atau modern. Terdapat sifat kebangsaan atau unsur nasional.  Bebas dalam menentukan bentuk dan isi. Adanya kebebasan ini merangsang tumbuhnya keanekaragaman karya sastra, seperti novel, cerpen, puisi, kritik dan esai. Bahasa sastra Pujangga Baru adalah bahasa Indonesia yang hidup dalam masyarakat, seperti kosa kata, kalimat dan ungkapan-ungkapan yang digunakan baru dan hidup. Romantik idealisme menjadi cirinya juga. Dalam melukiskan sesuatu dengan bahasa yang indah-indah, secara berlebihan. Pengaruh asing yang cukup kuat dari negeri Belanda
Dalam majalah Pujangga Baru diterbitkan juga kritik dan esai-esai tentang problemik kebudayaan, pendidikan, kesenian dan sastra. Kritik dan esai-esai kebudayaan yang di muat dalam majalah Pujangga Baru dikumpulkan oleh Achdiat Kartamiharja dan diterbitkan pada tahun 1949 dengan judul “ Polemik Kebudayaan “
Beberapa sastrawan angkatan Pujangga Baru antara lain :
1.       Sutan Takdir Alisjahbana (Dian Tak Kunjung Padam, Tebaran Mega ( kumpulan sajak) Layar Terkembang, Anak Perawan di Sarang Penyamun)
2.       Hamka (Di Bawah Lindungan Ka'bah, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Tuan Direktur ,    Didalam Lembah Kehidoepan)
3.       Armijn Pane (Belenggu, Jiwa Berjiwa, Gamelan Djiwa (kumpulan sajak) Djinak-djinak Merpat (sandiwara) Kisah Antara Manusia (kumpulan cerpen)
4.       Sanusi Pane (Pancaran Cinta, Puspa Mega, Madah Kelana , Sandhyakala Ning Majapahit, Kertajaya
5.       Tengku Amir Hamzah (Nyanyi Sunyi, Begawat Gita, Setanggi Timur),
6.       Roestam Effendi (Bebasari, Pertjikan Permenungan),
7.       Sariamin Ismail (Kalau Tak Untung, Pengaruh Keadaan, Anak Agung Pandji Tisna, Ni Rawit Ceti Penjual Orang, Sukreni Gadis Bali)
8.       J.E.Tatengkeng (Rindoe Dendam)
9.       Fatimah Hasan Delais (Kehilangan Mestika)
10.    Said Daeng Muntu (Pembalasan, Karena Kerendahan Boedi )
11.    Karim Halim (Palawija)


Pada zaman pendudukan Jepang majalah Pujangga Baru ini dilarang oleh pemerintah Jepang dengan alasan karena kebarat-baratan. Namun setelah Indonesia merdeka, majalah ini diterbitkan lagi pada ahun 1948 dengan pemimpin Redaksi Sutan Takdir Alisjahbana dan beberapa tokohtokoh angkatan 45 seperti Asrul Sani, Rivai Apin dan S. Rukiah.

Angkatan 45
Tokoh-tokoh angkatan 45 adalah sastrawan-sastrawan yang hidup dan lahir pada masa revolusi kemerdekaan dan masa-masa itu sangat mempengaruhi karakteristik karya-karya sastra mereka. Pada masa kehidupan sastra angkatan ’45, kita ketahui berbagai macam peristiwa terjadi.  Angkatan ’45 dimulai sejak tahun 1942, tetapi angkatan ini tidak dinamai dengan Pujangga Angkatan ’42  adalah karena golongan ini diberi nama kemudian, yaitu setelah proklamasi kemerdekaan Rosihan Anwar mengusulkan untuk memberi nama angkatan ini  dengan nama : Pujangga Angkatan ’45. Yang setelahnya mendapat dukungan publik, meskipun beberapa kritikus mengkritknya dengan keras. Sebelumnya angkatan ini disebut Pujangga Gelanggang, karena mereka menulis dalam rubrik majalah Siasat , dalam rubrik Gelanggang.
Seperti sudah disampaikan sebelumnya pada awal tulisan ini bahwa karakteristik karya sastra pada setiap angkatan sastra dipengaruhi oleh karakteristik jamannya. Karya sastra angkatan 45 dipengaruhi oleh beberapa peristiwa penting yang secara signifikan mempengaruhi karakteristiknya. Peristiwa penting yang terjadi yaitu : Penjajahan Jepang (1942—1945),  Proklamasi kemerdekaan (17 Agustus 1945),  Agresi Militer Belanda I dan II (21 Juli 1949 dan 18 Desember 1948), Penyerahan kedaulatan RI (12 Desember 1949),  Gebrakan Chairil Anwar dengan bahasa puisinya yang pendek, padat, berbobot, dan bernas dan struktur puisinya yang menyimpang dari pola sastra sebelumnya,  Diumumkannya Surat Kepercayaan Gelanggang pada 23 Oktober 1950.
Dengan latar belakang seperti yang telah diuraikan maka karya sastra angkatan 45 meunjukan karakteristik sebagai berikut : Revolusioner dalam bentuk dan isi. Membuang tradisi lama dan menciptakan bentuk baru sesuai dengan getaran sukmanya yang merdeka, mengutamakan isi dalam pencapaian tujuan yang nyata. Karena itu bahasanya pendek, terpilih, padat berbobot. Dalam proses mencari dan menemukan hakikat hidup. Seni adalah sebagai sarana untuk menopang manusia dan dunia yang sedalam-dalamnya, Ekspresionis, mengutamakan ekspresi yang jernih. Individualis, lebih mengutamakan cara-cara pribadi. Humanisme universal, bersifat kemanusiaan umum. Indonesia dibawa dalam perjuangan keadilan dunia.Tidak terikat oleh konvesi masyarakat yang penting adalah melakukan segala percobaan dengan kehidupan dalam mencapai nilai kemansiaan dan perdamaian dunia. Tema yang dibicarakan: humanisme, sahala (martabat manusia), penderitaan rakyat, moral, keganasan perang dengan keroncongnya perut lapar.
Secara singkat dapat dilihat bahwa angkatan 45 berkarater : terbuka,  bercorak isi realis dan naturalis, meninggalkan corak romantis, menonjolkan individualismenya, menggunakan sedikit kata, ekspresif dan spontan, terlihat sinisme dan sarkasme, Menerima pengaruh unsur sastra asing lebih luas dibandingkan angkatan sebelumnya
Sastrawan-sastrawan angkatan 45 antara lain :
1. Chairil Anwar (Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan Yang Putus ,Deru Campur Debu )
2.  Idrus (Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma , Aki )
3.  Pramoedya Ananta Toer (Cerita dari Blora, Keluarga Gerilya)
4.  Mochtar Lubis (Tidak Ada Esok , Harimau! Harimau!, )
5.  Utuy Tatang Sontani (Suling )
6.  Achdiat K. Mihardja (Atheis )

Angkatan '45 memiliki konsep seni yang diberi judul "Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam. Perjalanan angkatan 45 berlanjut hingga menjelang tahun 1950-an dan mulai tergeser dengan munculnya angkatan 1950 – 1960an.

(Diambil dari  rubrik Kajian Sastra majalah Purakasastra Edisi 1)

0 comments:

Post a Comment

Pengunjung

PURAKASASTRA. Powered by Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Terpopuler