Tuesday, December 9, 2014

Oleh: Khairyl Achmad

“Kau harus jatuh untuk bisa bangkit”.
Hanya mampu melihat dari balik jendela. Bukan, bukan karena tak mau tapi, saat ia mendekat mereka selalu menghindarinya. Masih bisa tersenyum, melihat keriangan mereka, berlarian ke sana kemari, sungguh tampak sangat menyenangkan. Melekatkan jemari tangannya ke kaca jendela, seakan ikut bermain bersama, tersenyum lagi, mata bulat yang indah itu menatap senang kearah teman- temannya yang tengah asyik bermain di halaman. Bibir mungilnya bergerak- gerak, namun tiba- tiba ia menurunkan tangannya. Pandangannya juga berubah, buru- buru memalingkan wajahnya, seperti sedang ketakutan. Dari taman, seorang bocah laki- laki memandang sinis ke arahnya, nyalinya seketika ciut. Kembali menekuri buku pelajarannya. Ya, buku adalah satu- satunya teman yang tak pernah mengeluhkan keadaannya, buku juga tak pernah membuatnya sakit, kecuali jika buku itu jatuh mengenai kepalanya, sembari tersenyum kecil dengan pemikiran konyolnya.
“Kenapa kamu ga ikut main?”. Suara lembut itu, suara yang begitu ia kenal, seseorang yang sangat ia hargai. Menoleh ke arah sumber suara, wanita berkerudung lembut tersenyum ke arahnya, begitu hangat, begitu menentramkan,
“Kinan sayang, ibu lihat kamu selalu di kelas, apa kamu ga bosen?”.
Kinan tersenyum kecil lalu menggeleng. Tanpa suara, gadis kecil berwajah manis itu hanya menunjuk ke arah buku pelajaran yang sedang asik ia “mainkan”
Tersenyum lembut, tangan hangat Ibu Riyanti membelai rambut Kinan penuh kasih sayang, “Baik lah, tapi belajar terus, apa kamu ga bosen?” Tersenyum lebih lebar, masih tanpa suara, mata bulat mungil itu sangat menggemaskan. “Ya sudah lah, belajar yang rajin ya Kinan, semoga kamu jadi yang terhebat.”
Mengangguk- angguk, lalu tersenyum lagi. Benar benar tak mau bicara.
Ibu Riyanti pergi, melangkah keluar kelas. Mata Kinan masih mengikuti langkah wanita yang sangat ia hormati. Sepertinya, Kinan harus meralat semua pemikirannya tadi, temannya bukan cuman buku- buku pelajaran, tapi juga Ibu Riyanti, wanita yang selalu membuatnya terkagum, yang selalu menemaninya di jam istirahat.
Kinan berjalan tertatih, kakinya memang tak sempurna. Kaki kanannya lebih kecil dari kaki kirinya. Ia berjalan perlahan menggunakan alat bantu kreg, satu langkah, tas kecil yang ada di punggunggnya ikut bergerak gerak.
“Hey lihat, anak cacat, bisu itu. Hati-hati jangan dekat dekat dengannya”. Celoteh seorang bocah lelaki yang berjalan di seberang. Kinan hanya terdiam. Lagi pula apa yang di katannya memang benar.
“Kenapa anak seperti dia boleh sekolah di tempat kita, dasar anak penyakitan!” timpal seorang gadis manja yang menggendong tas berwarna pink. Menatap sinis ke arah Kinan, dan lagi- lagi gadis mungil ini tak bisa berbuat apa- apa. Semua yang dikatakan teman-temannnya, memang dirasa benar.
Kata ibuku, “Hati-hati, Kinan punya penyakit berbahaya, kalau dekat- dekat dia nanti bisa tertular”. Kinan malah tersenyum mendengar kalimat itu. Ia menghentikan langkahnya, membuat semua anak yang berjalan berhenti pula. Mereka tampak terkejut, entah tak percaya atau ingin tahu apa yang akan dilakukan Kinan. Namun dengan santai, Kinan kembali melanjutkan langkahnya, berjalan tertatih di tengah terik matahari yang mulai garang. Anak- anak bandel itu sedikit lega. Kinan tak berbuat sesuatu, mereka buru- buru mempercepat langkahnya menuju rumah. Setelah cukup jauh, Kinan berhenti, lalu duduk santai, di bawah sebuah pohon. Ibu hari ini tak bisa menjemput Kinan, ada urusan penting katanya. Jadi, kinan harus berusaha sendiri berjalan pulang, tanpa ditemani ibu yang sangat ia cintai.
            Gadis itu tersenyum-senyum memperhatikan tingkah para semut yang berderet, membawa apa saja ke sarangnya. Terkadang ia merasa iri, dan tak jarang mempertanyakan dirinya yang terlahir berbeda. “Andai aku bisa seperti kalian, selalu bersama dan bermain dengan senang,” lirih hatinya berkata pada semut- semut itu. Terkadang Kinan juga kesal dengan dirinya sendiri. Kinan tak pernah menyalahkan teman- temannya yang usil dan selalu menghinanya. Kinan tak pernah lagi menangis diperlakukan seperti itu. Kinan sudah mengerti dan yang menjadi teman baiknya saat ini hanyalah buku pelajarannya, buku  yang tak akan berbuat jahat padanya. Entah lah, Kinan merasa tak begitu mengerti, mungkin karena Kinan masih kecil. Ah, sudahlah, Kinan capek, matanya mulai sayu, berjalan jauh dengan tongkat bantuan cukup melelahkan, tanpa sadar, ia tertidur tenang di bawah lindungan daun-daun hijau. Menutupinya dari sinar matahari yang membakar.
“Kinan sayang, bangun”. Membuka matanya, senyum hangat ibu menyambutnya.
“Maafkan ibu, kamu capek ya, kau tahu ibu sangat khawatir, mencari mu kemana- mana”. Wanita kepala tiga itu mengangak tubuh mungil Kinan.
“Ibu janji, Ibu akan jemput Kinan setiap hari”. Mengecup kening gadis itu penuh kasih sayang.
Gadis itu sudah tak perduli, ia hanya merangkul tubuh Ibunya, erat- erat. Sangat erat. Perasaan itu tiba- tiba saja menyusup, wanita lembut itu merasakan getaran yang hebat, tersalur dari Kinan, air matanya meleleh, tak kuasa dengan apa yang ia rasakan. Tak percaya, begitu pahitnya perasaan yang Kinan rasakan, tak percaya gadis manisnya begitu menderita, tak percaya bahwa sedalam ini perasaan yang ada padanya. Kinan memang tak banyak bicara, tak seperti anak- anak lainnya yang mudah sekali mengadu pada orang tuanya jika mendapat masalah. Baru kali ini, Kinan menunjukkan perasaannya yang tersimpan jauh di lubuk hati. Dari dekapan erat itu, ia bisa rasakan, betapa kosong dan betapa gelapnya, betapa pahitnya semua yang Kinan rasakan.
“Ya Allah, sebegitu ‘tega’ kah engkau pada gadis kecil ini. Lihatlah perasaannya yang menjerit- jerit, tersembunyi di balik wajahnya yang menggemaskan tersimpan rasa pahit yang cukup dalam”. Air mata itu harus meleleh lagi. Kinan semakin memeluk erat tubuh ibunya.
“Baiklah sayang, Ibu akan menjagamu dan mencari obat untukmu”. Tak kuasa lagi, air mata itu terus menetes.
“Ibu, Kinan takuutt,” lirih mulut kecil itu tak begitu jelas. Jantung wanita itu semakin terasa teriris, mendekap putri kecilnya, lalu berjalan pulang.
“Tuhan, putri kecilku sudah terlahir tak sempurna, haruskah ia juga menderita penyakit terkutuk itu?” Satu keluhan terlontar dari bibir yang bergetar, mengingat kembali surat keterangan dari rumah sakit, sebuah pukulan yang menohok keras hatinya, seakan tak percaya bahwa putri kecilnya mengidap penyakit yang sampai saat ini belum ditemukan obatnya. Benar- benar mengiris hatinya, hancur sudah. Bagaimana bisa? Dalam perjalanan pulang itu, air mata tak berhenti menetes, lirih- lirih keluh pun tak henti- hentiya mengalir.
 Kinan tertidur pulas, mata kecil yang indah itu tertutup, sangat lelap dan tampak begitu menggemaskan. wanita lembut itu mengambil secarik kertas yang terselip di saku baju Kinan. Membukanya, sebuah undangan sosialisasi terkait HIV AIDS untuk anak-anak. Air mata itu mengalir lagi, dipeluknya tubuh mungil itu erat- erat.
“Kinan sayang, bagaimana pun keadaan mu, kau tetap akan jadi anak ibu, anak ibu yang ibu banggakan”. Mengecupnya berkali- kali. Air matanya jatuh mengenai pipi mungil Kinan. Gadis itu masih terlelap sangat pulas. Seakan tak ada lagi masalah. Tersenyum.
“Mereka tak salah, mereka adalah korban seharusnya ditolong, bukan di benci”.
“Mereka masih punya hak untuk mewujudkan mimpi”.
“Mereka juga punya cita-cita, anggap saja mereka sedikit berbeda, dan kita tidak boleh saling membedakan”.
“Dengan hanya dekat dengan mereka, tak akan tertular, jadi dekati mereka seperti yang lainnya”.
Seorang dokter relawan dengan semangat memberi penjelasan, kepada seluruh murid beserta orang tua masing- masing. Pendapat dokter itu membuat sedikit kericuhan, berbincang satu sama lain, menyebutkan sebuah nama. Nama yang menurut mereka sudah menjadi momok, yang mengerikan bagi anak- anak mereka.
Terdiam, mereka semua terdiam, seluruh mata memandang ke depan. Seorang gadis kecil, dengan tongkat kayu di tangannya, gadis manis itu meminta microphone, degub jantungnya berdebar hebat. Ia perlahan mulai mengatur nafasnya, tercengang. Mereka yang ada dalam ruangan itu menyaksikan Kinan yang berdiri. Guru- guru pun ikut kaget, tak tahu apa yang akan di lakukan Kinan dengan mic itu.
Nuun, walqolami wamaa yasthuruun.
Maa anta bini’mati robbika bimajnuun.
Wainnaka la ajron ghoiru mamnuun.
Wainnaka la ‘ala khuluqin adhim.
Fasatubshiru wa yubshiruun.
Bi ayikumul maftuun.
Inna robbaka huwa a’lamu bi man dholla ‘an sabilih, wa huwa a’lamu bilmuhtadiin.
Fala tuthi’il mukadz-dzibiin.
Waddu law tudhinu fayudhinuun.
Wala tuthi’ kulla hallafimmahiin.
Hammaaziimmasya’in binamiim.
Manna’I lilkhoiri mu’tadin atsiim.
‘utulim ba’da dzalika zaniim.
……………………………………………
Semua terdiam, membisu, suara itu begitu lembut, halus, indah. Seorang wanita, menangis. Air matanya tumpah. Tak percaya dengan apa yang ia lihat. Tak tahu lagi harus berkata apa, hatinya renyuh, mendengar suara Kinan. Kinan yang jarang bersuara, Kinan yang sering membisu, Kinan yang pendiam, sebuah surat yang sering ia bacakan untuk Kinan, Sebuah surat yang sering ia perdengarkan lewat mp3 player, sebuah surat yang selalu menemani Kinan tidur. Tak sanggup lagi berkata apa- apa. Semua tamu yang ada di ruangan itu ikut tercengang, beberapa di antara mereka juga menetikkan air mata.
Wanita itu berlari ke depan. Mendekap putri kesayangannya, memeluknya erat, sangat erat dan dalam.
“Ibu, meski Kinan ga ngerti, penyakit apa yang Kinan derita, meski Kinan tak tahu berapa lama lagi Kinan harus bertahan hidup, meski Kinan anak yang terlahir cacat, meski Kinan anak yang penyakitan, meski Kinan tak punya teman, selalu dijauhi, karena penyakit yang Kinan ga ngerti, Kinan masih punya Ibu, Kinan masih punya buku, Kinan masih punya Bu Riyanti, Kinan masih punya semut- semut kecil yang menemani Kinan saat menunggu ibu datang menjemput, Kinan masih punya surat alqolam yang menemani tidur Kinan. Terima kasih bu”. Tangis pecah, gemetar memeluk tubuh mungilnya.
“Maafkan Ibu Kinan, meski aku bukan ibu kandung mu, Kinan akan tetap jadi anak ibu”. Lirih kecil dalam hati itu tetap tersimpan begitu dalam, bersaman rahasia Tuhan, rahasia lima tahun silam, saat pertama kali ia menemukan Kinan, bayi malang yang terbuang, seperti kebanyakan anak malang korban lahir di luar pernikahan, atau kehamilan yang tak diinginkan oleh para pekerja seks jalang. Riyanti tak perduli, seketika rasa keibuannya muncul dan berhasrat untuk merawatnya, meski ia belum menikah. Banyak yang mencibir, menuduh tetapi ia tak perduli, yang ia tahu sampai saat ini hanya kasih sayangnya pada Kinan.
Seseorang tiba- tiba berdiri, sebuah tepuk tangan. Satu- dua, semua mulai ikut memberikan semangat. Pada Kinan juga mewakili mereka yang menderita, seperti Kinan.

                                                                                                   
Cerpen ini terinspirasi dari lirik lagu kety perry – Firework.
September, 22- 2013.

1 comment:

  1. dengan RAB, kita bisa tidur nyenyak tanpa khawatir porto. rab bangunan 2 lantai
    Manfaatkan software buat bikin RAB lebih mudah. rab bangunan rumah 2 lantai

    ReplyDelete

Pengunjung

PURAKASASTRA. Powered by Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Terpopuler