“Kau harus jatuh
untuk bisa bangkit”.
Hanya mampu
melihat dari balik jendela. Bukan, bukan karena tak mau tapi, saat ia mendekat
mereka selalu menghindarinya. Masih bisa tersenyum, melihat keriangan mereka,
berlarian ke sana kemari, sungguh tampak sangat menyenangkan. Melekatkan jemari
tangannya ke kaca jendela, seakan ikut bermain bersama, tersenyum lagi, mata
bulat yang indah itu menatap senang kearah teman- temannya yang tengah asyik
bermain di halaman. Bibir mungilnya bergerak- gerak, namun tiba- tiba ia
menurunkan tangannya. Pandangannya juga berubah, buru- buru memalingkan
wajahnya, seperti sedang ketakutan. Dari taman, seorang bocah laki- laki
memandang sinis ke arahnya, nyalinya seketika ciut. Kembali menekuri buku pelajarannya.
Ya, buku adalah satu- satunya teman yang tak pernah mengeluhkan keadaannya,
buku juga tak pernah membuatnya sakit, kecuali jika buku itu jatuh mengenai
kepalanya, sembari tersenyum kecil dengan pemikiran konyolnya.
“Kenapa kamu ga ikut main?”. Suara lembut itu, suara
yang begitu ia kenal, seseorang yang sangat ia hargai. Menoleh ke arah sumber
suara, wanita berkerudung lembut tersenyum ke arahnya, begitu hangat, begitu
menentramkan,
“Kinan sayang,
ibu lihat kamu selalu di kelas, apa kamu ga
bosen?”.
Kinan tersenyum
kecil lalu menggeleng. Tanpa suara, gadis kecil berwajah manis itu hanya
menunjuk ke arah buku pelajaran yang sedang asik ia “mainkan”
Tersenyum
lembut, tangan hangat Ibu Riyanti membelai rambut Kinan penuh kasih sayang, “Baik
lah, tapi belajar terus, apa kamu ga
bosen?” Tersenyum lebih lebar, masih tanpa suara, mata bulat mungil itu sangat
menggemaskan. “Ya sudah lah, belajar yang rajin ya Kinan, semoga kamu jadi yang
terhebat.”
Mengangguk-
angguk, lalu tersenyum lagi. Benar benar tak mau bicara.
Ibu Riyanti
pergi, melangkah keluar kelas. Mata Kinan masih mengikuti langkah wanita yang
sangat ia hormati. Sepertinya, Kinan harus meralat semua pemikirannya tadi,
temannya bukan cuman buku- buku pelajaran, tapi juga Ibu Riyanti, wanita yang
selalu membuatnya terkagum, yang selalu menemaninya di jam istirahat.
Kinan berjalan
tertatih, kakinya memang tak sempurna. Kaki kanannya lebih kecil dari kaki
kirinya. Ia berjalan perlahan menggunakan alat bantu kreg, satu langkah, tas kecil yang ada di punggunggnya ikut
bergerak gerak.
“Hey lihat, anak
cacat, bisu itu. Hati-hati jangan dekat dekat dengannya”. Celoteh seorang bocah
lelaki yang berjalan di seberang. Kinan hanya terdiam. Lagi pula apa yang di
katannya memang benar.
“Kenapa anak seperti
dia boleh sekolah di tempat kita, dasar anak penyakitan!” timpal seorang gadis
manja yang menggendong tas berwarna pink. Menatap sinis ke arah Kinan, dan
lagi- lagi gadis mungil ini tak bisa berbuat apa- apa. Semua yang dikatakan teman-temannnya,
memang dirasa benar.
Kata ibuku,
“Hati-hati, Kinan punya penyakit berbahaya, kalau dekat- dekat dia nanti bisa tertular”.
Kinan malah tersenyum mendengar kalimat itu. Ia menghentikan langkahnya,
membuat semua anak yang berjalan berhenti pula. Mereka tampak terkejut, entah
tak percaya atau ingin tahu apa yang akan dilakukan Kinan. Namun dengan santai,
Kinan kembali melanjutkan langkahnya, berjalan tertatih di tengah terik matahari
yang mulai garang. Anak- anak bandel itu sedikit lega. Kinan tak berbuat
sesuatu, mereka buru- buru mempercepat langkahnya menuju rumah. Setelah cukup
jauh, Kinan berhenti, lalu duduk santai, di bawah sebuah pohon. Ibu hari ini
tak bisa menjemput Kinan, ada urusan penting katanya. Jadi, kinan harus
berusaha sendiri berjalan pulang, tanpa ditemani ibu yang sangat ia cintai.
Gadis itu tersenyum-senyum
memperhatikan tingkah para semut yang berderet, membawa apa saja ke sarangnya.
Terkadang ia merasa iri, dan tak jarang mempertanyakan dirinya yang terlahir
berbeda. “Andai aku bisa seperti kalian, selalu bersama dan bermain dengan
senang,” lirih hatinya berkata pada semut- semut itu. Terkadang Kinan juga
kesal dengan dirinya sendiri. Kinan tak pernah menyalahkan teman- temannya yang
usil dan selalu menghinanya. Kinan tak pernah lagi menangis diperlakukan
seperti itu. Kinan sudah mengerti dan yang menjadi teman baiknya saat ini
hanyalah buku pelajarannya, buku yang
tak akan berbuat jahat padanya. Entah lah, Kinan merasa tak begitu mengerti,
mungkin karena Kinan masih kecil. Ah, sudahlah, Kinan capek, matanya mulai
sayu, berjalan jauh dengan tongkat bantuan cukup melelahkan, tanpa sadar, ia
tertidur tenang di bawah lindungan daun-daun hijau. Menutupinya dari sinar
matahari yang membakar.
“Kinan sayang,
bangun”. Membuka matanya, senyum hangat ibu menyambutnya.
“Maafkan ibu,
kamu capek ya, kau tahu ibu sangat khawatir, mencari mu kemana- mana”. Wanita
kepala tiga itu mengangak tubuh mungil Kinan.
“Ibu janji, Ibu
akan jemput Kinan setiap hari”. Mengecup kening gadis itu penuh kasih sayang.
Gadis itu sudah
tak perduli, ia hanya merangkul tubuh Ibunya, erat- erat. Sangat erat. Perasaan
itu tiba- tiba saja menyusup, wanita lembut itu merasakan getaran yang hebat,
tersalur dari Kinan, air matanya meleleh, tak kuasa dengan apa yang ia rasakan.
Tak percaya, begitu pahitnya perasaan yang Kinan rasakan, tak percaya gadis
manisnya begitu menderita, tak percaya bahwa sedalam ini perasaan yang ada padanya.
Kinan memang tak banyak bicara, tak seperti anak- anak lainnya yang mudah
sekali mengadu pada orang tuanya jika mendapat masalah. Baru kali ini, Kinan
menunjukkan perasaannya yang tersimpan jauh di lubuk hati. Dari dekapan erat
itu, ia bisa rasakan, betapa kosong dan betapa gelapnya, betapa pahitnya semua
yang Kinan rasakan.
“Ya Allah,
sebegitu ‘tega’ kah engkau pada gadis kecil ini. Lihatlah perasaannya yang
menjerit- jerit, tersembunyi di balik wajahnya yang menggemaskan tersimpan rasa
pahit yang cukup dalam”. Air mata itu harus meleleh lagi. Kinan semakin memeluk
erat tubuh ibunya.
“Baiklah sayang,
Ibu akan menjagamu dan mencari obat untukmu”. Tak kuasa lagi, air mata itu
terus menetes.
“Ibu, Kinan
takuutt,” lirih mulut kecil itu tak begitu jelas. Jantung wanita itu semakin
terasa teriris, mendekap putri kecilnya, lalu berjalan pulang.
“Tuhan, putri
kecilku sudah terlahir tak sempurna, haruskah ia juga menderita penyakit
terkutuk itu?” Satu keluhan terlontar dari bibir yang bergetar, mengingat
kembali surat keterangan dari rumah sakit, sebuah pukulan yang menohok keras
hatinya, seakan tak percaya bahwa putri kecilnya mengidap penyakit yang sampai
saat ini belum ditemukan obatnya. Benar- benar mengiris hatinya, hancur sudah.
Bagaimana bisa? Dalam perjalanan pulang itu, air mata tak berhenti menetes,
lirih- lirih keluh pun tak henti- hentiya mengalir.
Kinan tertidur pulas, mata kecil yang indah
itu tertutup, sangat lelap dan tampak begitu menggemaskan. wanita lembut itu
mengambil secarik kertas yang terselip di saku baju Kinan. Membukanya, sebuah
undangan sosialisasi terkait HIV AIDS untuk anak-anak. Air mata itu mengalir
lagi, dipeluknya tubuh mungil itu erat- erat.
“Kinan sayang,
bagaimana pun keadaan mu, kau tetap akan jadi anak ibu, anak ibu yang ibu
banggakan”. Mengecupnya berkali- kali. Air matanya jatuh mengenai pipi mungil
Kinan. Gadis itu masih terlelap sangat pulas. Seakan tak ada lagi masalah.
Tersenyum.
“Mereka tak
salah, mereka adalah korban seharusnya ditolong, bukan di benci”.
“Mereka masih
punya hak untuk mewujudkan mimpi”.
“Mereka juga
punya cita-cita, anggap saja mereka sedikit berbeda, dan kita tidak boleh
saling membedakan”.
“Dengan hanya
dekat dengan mereka, tak akan tertular, jadi dekati mereka seperti yang
lainnya”.
Seorang dokter
relawan dengan semangat memberi penjelasan, kepada seluruh murid beserta orang
tua masing- masing. Pendapat dokter itu membuat sedikit kericuhan, berbincang
satu sama lain, menyebutkan sebuah nama. Nama yang menurut mereka sudah menjadi
momok, yang mengerikan bagi anak- anak mereka.
Terdiam, mereka
semua terdiam, seluruh mata memandang ke depan. Seorang gadis kecil, dengan
tongkat kayu di tangannya, gadis manis itu meminta microphone, degub jantungnya berdebar hebat. Ia perlahan mulai
mengatur nafasnya, tercengang. Mereka yang ada dalam ruangan itu menyaksikan
Kinan yang berdiri. Guru- guru pun ikut kaget, tak tahu apa yang akan di
lakukan Kinan dengan mic itu.
Nuun, walqolami wamaa yasthuruun.
Maa anta bini’mati robbika bimajnuun.
Wainnaka la ajron ghoiru mamnuun.
Wainnaka la ‘ala khuluqin adhim.
Fasatubshiru wa yubshiruun.
Bi ayikumul maftuun.
Inna robbaka huwa a’lamu bi man dholla ‘an sabilih,
wa huwa a’lamu bilmuhtadiin.
Fala tuthi’il mukadz-dzibiin.
Waddu law tudhinu fayudhinuun.
Wala tuthi’ kulla hallafimmahiin.
Hammaaziimmasya’in binamiim.
Manna’I lilkhoiri mu’tadin atsiim.
‘utulim ba’da dzalika zaniim.
……………………………………………
Semua terdiam,
membisu, suara itu begitu lembut, halus, indah. Seorang wanita, menangis. Air
matanya tumpah. Tak percaya dengan apa yang ia lihat. Tak tahu lagi harus
berkata apa, hatinya renyuh, mendengar suara Kinan. Kinan yang jarang bersuara,
Kinan yang sering membisu, Kinan yang pendiam, sebuah surat yang sering ia
bacakan untuk Kinan, Sebuah surat yang sering ia perdengarkan lewat mp3 player, sebuah surat yang selalu
menemani Kinan tidur. Tak sanggup lagi berkata apa- apa. Semua tamu yang ada di
ruangan itu ikut tercengang, beberapa di antara mereka juga menetikkan air
mata.
Wanita itu berlari
ke depan. Mendekap putri kesayangannya, memeluknya erat, sangat erat dan dalam.
“Ibu, meski
Kinan ga ngerti, penyakit apa yang
Kinan derita, meski Kinan tak tahu berapa lama lagi Kinan harus bertahan hidup,
meski Kinan anak yang terlahir cacat, meski Kinan anak yang penyakitan, meski
Kinan tak punya teman, selalu dijauhi, karena penyakit yang Kinan ga ngerti, Kinan masih punya Ibu, Kinan
masih punya buku, Kinan masih punya Bu Riyanti, Kinan masih punya semut- semut
kecil yang menemani Kinan saat menunggu ibu datang menjemput, Kinan masih punya
surat alqolam yang menemani tidur
Kinan. Terima kasih bu”. Tangis pecah, gemetar memeluk tubuh mungilnya.
“Maafkan Ibu
Kinan, meski aku bukan ibu kandung mu, Kinan akan tetap jadi anak ibu”. Lirih
kecil dalam hati itu tetap tersimpan begitu dalam, bersaman rahasia Tuhan,
rahasia lima tahun silam, saat pertama kali ia menemukan Kinan, bayi malang
yang terbuang, seperti kebanyakan anak malang korban lahir di luar pernikahan,
atau kehamilan yang tak diinginkan oleh para pekerja seks jalang. Riyanti tak
perduli, seketika rasa keibuannya muncul dan berhasrat untuk merawatnya, meski
ia belum menikah. Banyak yang mencibir, menuduh tetapi ia tak perduli, yang ia
tahu sampai saat ini hanya kasih sayangnya pada Kinan.
Seseorang tiba-
tiba berdiri, sebuah tepuk tangan. Satu- dua, semua mulai ikut memberikan
semangat. Pada Kinan juga mewakili mereka yang menderita, seperti Kinan.
September,
22- 2013.
dengan RAB, kita bisa tidur nyenyak tanpa khawatir porto. rab bangunan 2 lantai
ReplyDeleteManfaatkan software buat bikin RAB lebih mudah. rab bangunan rumah 2 lantai