Wednesday, August 27, 2014



Oleh: Israwaty Samad & Alfian Nawawi
Pagi di atas tanah kering berdebu dan berbatu. Seorang lelaki separuh baya berjalan dengan tenang melewati jalan setapak di sebuah kampung kecil. Perawakannya agak sedang. Tubuhnya jangkung dibalut pakaian serba putih. Rambutnya yang hitam legam agak panjang dengan sedikit uban dibalut sorban putih gading. Tangan kanannya memegang sebuah tongkat kayu. Wajahnya tenang berwibawa dan tampak bercahaya sesekali menunduk. Matanya bias sesekali melepaskan pandangan ke sekitar.
 Sepanjang jalan setapak yang dilaluinya dipenuhi batu-batu kerikil. Di sisi kiri kanan jalan terdapat banyak batu-batu besar dan tanaman meranggas.
 “Astagfirullahhalazim. Kemarau yang sangat panjang telah membuat kampung ini begitu kekeringan.” bathin lelaki itu. Sambil matanya terus memandang ke sekitar seperti mencari-cari dan hendak melakukan sesuatu.
Matahari naik sepenggalah diatas kepalanya yang berbalut sorban. Lelaki itu berhenti di dekat sebuah batu besar berwarna hitam. Permukaan batu berbentuk agak datar. Tampaknya dia telah menemukan apa yang ia cari.
“Alhamdulillah. Terimakasih ya Allah. Engkau telah membawaku ke batu ini untuk melaksanakan shalat dhuha,” gumamnya sambil menengadahkan wajahnya ke langit. Lalu kedua telapak tangannya diletakkan ke tanah, untuk mulai bertayammum sebab sedari tadi ia tidak kunjung menemukan satupun sumber mata air maupun air sungai. Lelaki itu lalu berdiri melaksanakan Shalat Dhuha di atas batu besar itu.
 Lelaki berpakaian serba putih itu adalah Khatib Bungsu. Seorang ulama  dari Koto Tangah, Minangkabau yang menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan yang sedang melakukan perjalanan menuju Kerajaan Tiro.
 “Assalamualaikum, puang.” Seorang pemuda berbadan tegap berpakaian serba hitam-hitam tiba-tiba muncul dari balik sebuah batu besar setelah Khatib Bungsu menyelesaikan sholat Dhuha nya.
“Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh,” jawab Khatib Bungsu.
Pemuda itu langsung menjabat dan mencium tangan Khatib Bungsu. Lalu ia berkata, “Alhamdulillah. puang  datang tepat pada waktunya!’
“Ada apa, muridku?” Tanya Khatib Bungsu agak sedikit heran dengan ucapan pemuda itu. Pemuda itu adalah salah seorang muridnya di kampung ini.
“Begini, puang. Kita harus segera melakukan sesuatu. Kemarau berkepanjangan telah membuat sebahagian besar pengikut kita di kampung ini menjadi hampir putus asa. Mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa ketika  mereka diejek oleh orang-orang yang masih belum diberikan hidayah  Sang Khalik.”
 “Subhanallah. Sesungguhnya apa yang telah terjadi, anak muda? Mereka diejek dalam hal apa?” Tanya Khatib Bungsu dengan suara tenang dan berwibawa.
“Begini, puang. Mereka berkata bahwa mereka lebih baik mempertahankan ajaran nenek moyang mereka dibanding mengikuti agama baru yang diajarkan oleh puang. Agama baru ini tidak bisa menolong mereka keluar dari kemarau berkepanjangan ini. Hujan tidak kunjung turun. Setiap hari ada saja ternak yang mati akibat kekeringan. Tanaman mereka juga gagal panen. Puang, mereka bahkan sangat yakin bahwa agama baru ini tidak mampu membawa mereka kepada penghidupan yang lebih baik.”
“Masya Allah. Sesungguhnya Allah SWT Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Allah tidak akan menimpakan sesuatu beban kepada hamba-Nya manakala hamba-Nya itu tidak sanggup menanggungnya,” ujar Khatib Bungsu. Kemudian ia berkata lagi,”yakinlah, anak muda. Allah akan selalu menolong orang-orang yang menolong agama-Nya. Mari, anak muda. Insya Allah, kita akan  membuktikan bahwa sesungguhnya Allah Maha Penolong.”
 Keduanya pun lalu bergegas berjalan meninggalkan tempat itu. Keduanya berjalan menuju ke arah perkampungan penduduk.
Ketika tiba di kelokan jalan, keduanya dikejutkan dengan sebuah pemandangan yang sangat mengerikan. Puluhan lelaki dan perempuan dewasa tampak mengelilingi sebuah batu besar yang kelihatannya adalah sebuah altar. Di atas batu besar itu terbaring seorang gadis dengan wajah penuh ketakutan. Kedua tangan dan kaki  nya terikat tali. Seorang lelaki bertelanjang dada berdiri di samping batu besar tempat gadis itu diletakkan. Dengan memegang dua bilah badik di kedua tangannya. Badik itu tampak sakral, gagangnya seperti terbuat dari tulang manusia yang diukir. Menunjukkan bahwa bukan orang sembarangan yang dapat memilikinya.
“Masya Allah. Muridku, apa gerangan yang dilakukan orang-orang itu?” Khatib Bungsu berkata pada muridnya.
“Puang, itu adalah sebuah upacara persembahan kepada dewa mereka. Mereka akan mengorbankan gadis itu untuk meminta hujan!”
“Astagfirullahhalaziim. Apakah upacara semacam ini telah sering mereka lakukan selama ini?” Dia bertanya dengan nada terkejut.
“Upacara ini baru dilakukan lagi. Terakhir kali kami saksikan, upacara seperti ini ketika terjadi kemarau panjang belasan tahun lalu,  dengan mengorbankan seorang gadis yang masih perawan.”
Upacara persembahan di hadapan mereka tampaknya sudah dimulai. Puluhan lelaki dan perempuan di sekeliling altar batu mengucapkan semacam mantra yang kedengaran seperti nyanyian dan ratapan kepedihan. Lelaki bertelanjang dada yang tampaknya adalah pemimpin upacara itu melakukan semacam tarian mengelilingi altar batu. Sejurus kemudian pemimpin upacara itu berhenti menari. Kedua tangannya diangkat ke langit sambil mengeluarkan mantra. Ia lalu berjalan ke arah sebuah wadah berisi air dan memasukan kedua badik itu kedalam air suci. kemudian dia mengangkat kedua badik itu tinggi-tinggi ke arah langit. Mulutnya tak henti meracau mengeluarkan  ucapan-ucapan mantra.
Hening dan ketegangan meliputi tempat itu. Pemimpin upacara itu lalu berjalan menghampiri gadis persembahannya di altar batu. Pemandangan mengerikan akan segera terjadi.  Kedua badik itu diayun sekuat tenaga. Sesaat lagi kepala gadis itu akan segera terpisah dari badannya.
“Tunggu...!” Dalam detik-detik eksekusi yang akan dilakukan itu, tiba-tiba terdengar suara menggelegar. Suara itu ..mengejutkan semua orang yang ada di situ. Mereka serempak melihat ke arah datangnya suara itu.
“Kau rupanya, Khatib Bungsu!” seru lelaki pemimpin upacara. Perlahan ia menurunkan  badiknya. Lalu ia berkata lantang, ”Khatib Bungsu..! Ada urusan apa tiba-tiba muncul di sini mengganggu jalannya upacara kami?”
“Hentikan upacara setan ini! Ketahuilah, mengorbankan nyawa gadis yang tidak berdosa tidak akan merubah apapun. Hujan tetap tidak akan turun kecualli kemalangan atas nasib gadis itu. Perbuatan kalian ini sungguh sangat kejam dan tidak manusiawi. Jika ingin meminta hujan, mintalah kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam dengan berdoa dan malakukan kebajikan.”
“Hahahahahaahaaa! Upacara ini kami lakukan berdasarkan ajaran leluhur kami dan telah berlangsung selama ratusan tahun. Ajaran baru yang kamu ajarkan nyatanya juga tidak bisa menurunkan hujan di negeri ini, bukan?” Lelaki itu berkata sambil matanya memandang sinis pada Khatib Bungsu.
“Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan-Nya,” kata Khatib Bungsu dengan suara tenang.
“Omong besar! Buktikan jika kamu mampu menurunkan hujan.”
 Khatib Bungsu terdiam sejenak. Dengan suara yang tetap tenang dan berwibawa ia berkata,”baiklah, aku akan mencoba meminta kepada Allah SWT, air yang kalian inginkan itu, tapi dengan syarat  kalian harus melepaskan gadis itu dan meninggalkan cara-cara keji ini.”
“Hei, Khatib Bungsu. Kami tidak akan melepaskan gadis persembahan kami. begini saja, buktikan kepada kami jika kamu bisa meminta air kepada Tuhanmu itu. Buktikan saja kalau ajaranmu itu benar. Jika kamu bisa membuktikan omong besarmu, maka kami melepaskan gadis ini,” ujar lelaki itu  sinis.
“Baiklah, tetapi kalian harus menepati  janji. Kalian harus melepaskannya” ujar Khatib Bungsu. Ia lalu berjalan beberapa langkah.
Sejenak kemudian wali Allah itu mengangkat kedua tangannya dan lalu berdoa beberapa saat. Setelah mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahnya lalu secara tiba-tiba ia mengangkat tongkat kayunya lalu dihunjamkan ke tanah dengan keras. Separuh tongkat itu terhunjam ke dalam tanah. Khatib Bungsu lalu menarik tongkat itu dan membentuk semacam garis. Dan apa yang terjadi sungguh sangat mencengangkan! Sekonyong-konyong dari dalam lubang bekas tongkat itu memancarlah air yang sangat deras! Semakin deras dan menggenangi tanah tempat mereka berpijak.Genangan air itu semakin banyak  hingga menggenangi semua orang-orang di tempat itu sampai setinggi lutut.......
baca selengkapnya di Purakasastra edisi 1, Agustus 2014

(Diambil dari  rubrik Kajian Sastra majalah Purakasastra Edisi 1)


0 comments:

Post a Comment

Pengunjung

PURAKASASTRA. Powered by Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Terpopuler