Tuesday, December 9, 2014

Jaran Guyang[1]

           

Angin berarak menerpa dedaunan. Ujung atap rumbia yang mamayungi rumahnya dari panas dan hujan itupun ikut terombang-ambing oleh angin. Matahari menyenja di barat sana sedang dadanya berdebar tidak menentu. Menunggu memang hal yang paling menjengkelkan bagi setiap orang. Terlebih menunggu tanggapan dari lamaran yang dibawakan ibunya. Lamaran kepada seorang gadis kemayu yang ia temui sewaktu hendak mluku[2] di sawah Pak Bunawas. Gadis kemayu dan kenes yang mula-mula memang membuatnya kesal namun tak bisa ia pungkiri suara gadis itu telah memanggil-manggil jiwanya untuk merindu tiada henti.

Yen isun iki aran Baridin

Urip lagi menderita batin

Saban dina lagi nyandang isin

Sebabe durung ngalami kawin

Arep kawin arep durung orang takon

Bonggan sapa kader akeh wadon

Kembang sirsak iwak blanak

Wonge blesak ambune blenak

Bagen mlarat baridin lanang

Demen wadon ikuh wenang

Mekonon soten lanang gah apa lanange

Mekonon soten wadon gah apa wadone

Wadone kula larang regane

Ora pantes baridin jodone

Yen bli kelakon sun bagen lara badane

Lamun kelakon isun si bagen edane

Ngomong mkonon apa temanan

Gelem sumpah pitung turunan[3]

Ahh…, betapa mengingatnya adalah hal terindah yang bisa ia rasakan saat ini. Kekenesan gadis itu malah membuat hatinya ketar-ketir menahan cinta yang memenuhi jiwanya. Namun bukan kepalang kagetnya saat dilihatnya Mak Wangsih pulang dengan berurai air mata. Lantas debar-debur yang ia rasakan beberapa saat tadi kini berganti menjadi cemas yang tiada terkira. Pasti ada hal buruk yang menimpa Maknya. Dan yang lebih membuatnya cemas adalah inti hal buruk itu adalah menimpa dirinya. Ya, mungkin saja…

“Baridin…!” ucap Maknya seketika di depan anak lelaki semata wayangnya. Lengan baju yang ia kenakan sudah kuyup dengan air mata yang terus mengalir sepanjang jalan. “Sing sabar, Cung. Ratmina ikuh dudu golongane kita. Bli pantes dadi jodoe sira. Wis Cung, lurua wadon sejen bae.[4]

“Memangnya kenapa, Mak? Lamaranku bagaimana, Mak?” jawab Baridin dengan sangat penasaran.

“Sudah jangan pikirkan lagi. Lamaranmu mereka tolak. Malah Makmu ini mereka anggap pengemis. Ratmina tidak peduli sama sekali.”

“Tidak mungkin, Mak. Mak sudah ngomong baik-baik? Coba sekali lagi Mak! Tolonglah Mak coba sekali lagi! Anakmu ini tidak akan bisa hidup tanpa Ratmina, Mak.”

“Baridin!” keluh Maknya. Didekatinya anaknya. Dielusnya pundak anak lelakinya. “Dengarkan Mak, cari saja wanita lain. Entah tetangga kita, entah anak teman Mak sewaktu tandur atau teman bermainmu. Mak akan melamarkannya untukmu. Asal jangan Ratmina. Mak tidak tahan direndahkan seperti itu.”

Mboten, Mak! Baridin cuma pengen Ratmina.”

“Jadi kamu tidak mau mendengarkan Makmu?” tanya Mak tak percaya.

“Tidak, Mak.”

“Kalau begitu pergi kau dari sini! Kau lebih memilih membiarkan Makmu direndahkan daripada memilih wanita lain. Tidak pantas kau menjadi anakku!” kata Maknya.

Seolah ada halilintar yang mengagetkannya. Seketika itu juga ia tidak bisa berkata apa-apa. Hatinya hancur mendengar lamarannya ditolak dan kini Maknya sendiri menyingkirkannya. Lantas dengan kaki telanjang dijejakinya tanah kering berdebu sepanjang jalan rumahnya menuju kebun dan sawah.

Kemilau senja mengantar para petani yang selesai mencuci cangkul dan bajunya di sungai beranjak pulang ke rumah. Tapi tidak Baridin. Hatinya murung, suram dan kelabu tak secerah senja sore itu.

Perlahan dari belakang teman karibnya menghampiri. “Din! Kenapa kamu,  Din?”

Baridin tak menjawab. Pikirannya melayang tak tahu arah. Ia bingung sendiri. Maknya mengusir ia dari rumah. Uang tak punya, harta benda hanya pakaian yang ia kenakan. Malam nanti ia belum tahu akan tidur di mana.

“Din!” kembali teman karibnya memanggil.

“Ya, Dinulur. Sira kuh weruan bae ana batur lagi nelangsa. Tapi sayang, sira durung pernah ngrasani larane wong kapegot tresna.[5]

“Kamu sakit hati karena Ratmina menolak lamaranmu, Din. Aku tahu dari Makmu. Dan apa kau tahu Din? Sebagai seorang teman aku tidak tega melihatmu seperti ini.”

Kesuwun, Lur. Melase sira bli bakal bisa ngobati laranengati.[6]

Mata hatinya barangkali sudah tertutup oleh kelabu perasaannya. Barangkali hatinya pun benar-benar sudah remuk yang berbentuk sehingga tak dihiraukannya tiap perkataan teman karibnya itu. Matahari semakin memerah. Semakin terasa cepat waktu berlalu.

“Sepertinya warisan bapakku tepat untukmu, Din.”

Baridin masih terdiam. Ia tidak ingin mendengar bualan sahabatnya. Ia tahu, Dinulur hanya yatim piatu yang papa. Ia tak punya apa-apa. Orang tuanya pun dulu hanya seorang kuli sawah. Kakek-nenek tak ada. Hanya hidup sendiri. Tempat tinggal hanya gubuk rumbia yang tak jauh beda dengan rumah Maknya. Tak mungkin ada warisan yang sempat ditinggalkan orang tuanya.

“Eh, Din. Kau tidak percaya kalau bapak mewariskan sesuatu padaku?” tanya Dinulur mencoba mengalihkan perhatian Baridin.

Bli ngandel!”[7]

“Kalau kau benar-benar cinta Ratmina, warisan bapakku ini pantas untuk kau coba, Din. Coba lihatlah!”

“Apa itu, Dinulur? Kertas kumal dengan tulisan aksara jawa kuna? Apa ini Dinulur?

“Itulah bacaan kemat Jaran Goyang, Din,” jawab Dinulur dengan terkekeh. Ia begitu senang melihat sahabatnya beralih perhatian.

Kedua mata Baridin kini begitu lekat memperhatikan tiap hurufnya. Tiap kata ia eja dengan begitu seksama. Perkata, perkalimat perlahan ia hapalkan. Senyumnya seketika merekah. Dinulur terkekeh melihat senyum kembali merekah di bibir sahabatnya. Sebagai seorang sahabat dari kecil memang sudah sepantasnya membantu kesusahan temannya.

Matahari sudah tenggelam. Gelap menyelimuti. Dari kejauhan kelap-kelip obor yang menerangi tiap rumah terlihat menembus reranting semak belukar yang tumbuh sembarang dan memenuhi kebun. Bebunyi jangkrik dan katak sawah bersahutan seolah arak-arakan sebuah pesta besar untuk alam tengah dimulai.

Baridin beranjak dari duduknya. Bersama teman karibnya ia melangkah pulang. Ia akan tidur di gubuk sahabatnya. Tengah malam nanti, tepat malam jum’at kliwon ia akan merapalkannya. Ya, hatinya mantap untuk melakukan itu. Cinta telah membuat tekadnya bulat. Suratmina harus bisa ia luluhkan.

*****

40 hari pun berlalu. Terik siang begitu hangat menerpa bumi. Bebunyi belalang sawah terdengar dari beberapa sudut.

CETARRR…! Dilecutkannya cambuk kecil untuk menondorong kembali tenaga kerbau yang dirasa mulai melambat. Tak jauh beda dengan Baridin yang memegang kendali. Napasnya begitu pelan. Dengan kedua mata yang lemah menatap. Juga hanya sedikit tenaga yang ia punya. Ya, telah 40 hari perutnya tidak kemasukan makanan dan minuman. Entah akan sampai pada napas yang ke berapa nyawanya terenggut.

Di antara hentakan kerbau di tengah sawah, lamat-lamat dilihatnya seorang perempuan dengan pakaian compang-camping berjalan tergesa-gesa mendekat.

“Kang Baridin…!” pelan didengarnya perempuan itu memanggil namanya.

“Kang Baridin, kulane melu, Kang…” . Kini ia yakin ia tak salah dengar. Perempuan dengan dandanan yang sudah tidak karuan itu memang memanggil-manggil namanya.

Semakin dekat semakin jelas Baridin melihat wajah perempuan itu. Dan sedetik kemudian ia terkesiap. Ya, perempuan itu pasti perempuan yang telah menolak lamarannya tempo dulu. Ya, dia Suratmina.

“Suratmina! Lhoh… lhoh… jadi  kamu benar gila ya? Ternyata benar kata Dinulur, Suratmina gila karena kemat Jaran Guyang.” Baridin terkekeh melihat melihat kenyataan persis seperti yang ia inginkan.

“Kang Baridin, kulane melu, Kang. Yuk kita nikah yuk! Hehehe… hehehe…!”

Sekarang kau malah meminta-minta dinikahi. Mana Suratmina yang dulu mengaku dilamar pilot, pengusaha, orang gedungan? Sekarang malah minta dinikahi Baridin yang hanya tukang bajaka sawah, lelaki miskin. Tapi Baridin tidak akan sudi menikahimu, Suratmina. Karena congkakmu Mak Wangsih sampai mengusirku dari rumah.

“Kang… ayo nikah kang! Kang… Ba…” terputus-putus Suratmina berkata. Napasnya dengan seketika melambat dengan drastis. “Kang Ba… ri… di..n!” dan hilang. Tubuhnya pun ambruk di depan Baridin.

Baridin hanya melongo melihat itu. Kakinya seakan terpaku melihat itu. Beberapa petani yang kebetulan melihatnya berteriak-teriak memberi tahu yang lain. Dan segeralah mereka berdatangan. Dinulur yang kebetulan pun ada di situ dengan cepat menghampiri Baridin.

“Din, kok wajahmu pucat sekali. Din…!” Dinulur memanggil-manggil Baridin yang mulai kehilangan kesadarannya.

Kepengenan kula kelakon Lur. Sekien kula wis tenang!”[8] tepat beberapa detik setelah Baridin mengatakan itu, badannya ambruk. Dinulur memegang pergelangan tangan Baridin dan memeriksa nadinya. Lenyap. Tak ada lagi denyut nadinya.

Innalillahi…

#selesai#

Tegalkarang, 21 September 2014

  #Purakasastra Edisi 2 Tahun 1-November 2014


[1] Keseluruhan cerita ini diambil dari cerita drama Tarling Klasik daerah Cirebon dengan judul Baridin.
[2] Membajak.
[3] Ini aku yang bernama Baridin/hidup sedang menderita batin/tiap hari menyandang malu/karena belum pernah kawin(nikah)//mau kawin atau belum tak tanya/sebab siapa padahal banyak perempuan/bunga sirsak ikan blanak/orangnya jelek baunya tidak enak//biarpun miskin Baridin lelaki/mencintai perempuan itu boleh//begitupun siapa dulu perempuannya/begitupun siapa dulu lelakinya/perempuan itu saya mahal harganya/tidak pantas berjodoh Baridin//kalau tidak tercapai tak apa sakit badan ini//kalau tercapai lebih baik aku gila//ngomong seperti itu apa benar//berani sumpah tujuh turunan.
Pantun berbalas yang dilakukan Baridin dan Suratmina sebagai dialog dalam Drama Tarling.
[4] Yang sabar, Cung. Ratmina bukanlah golongan kita.­ Tidak pantas jadi jodohmu. Cari saja wanita lain.
[5] Kau tahu saja ada teman lagi nelangsa. Tapi sayang, kau tidak pernah merasakan sakitnya patah hati.
[6] Terimakasih, Lur. Rasa kasihanmu tidak bisa mengobati hati yang terluka.
[7] Tidak percaya.
[8] Keinginanku sekarang tercapai, Lur. Sekarang aku sudah tenang.

0 comments:

Post a Comment

Pengunjung

PURAKASASTRA. Powered by Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Terpopuler