Jaran
Guyang[1]
Angin berarak menerpa
dedaunan. Ujung atap rumbia yang mamayungi rumahnya dari panas dan hujan itupun
ikut terombang-ambing oleh angin. Matahari menyenja di barat sana sedang dadanya
berdebar tidak menentu. Menunggu memang hal yang paling menjengkelkan bagi
setiap orang. Terlebih menunggu tanggapan dari lamaran yang dibawakan ibunya.
Lamaran kepada seorang gadis kemayu yang ia temui sewaktu hendak mluku[2]
di sawah Pak Bunawas. Gadis kemayu dan kenes yang mula-mula memang membuatnya
kesal namun tak bisa ia pungkiri suara gadis itu telah memanggil-manggil
jiwanya untuk merindu tiada henti.
Yen
isun iki aran Baridin
Urip
lagi menderita batin
Saban
dina lagi nyandang isin
Sebabe
durung ngalami kawin
Arep kawin arep
durung orang takon
Bonggan sapa kader
akeh wadon
Kembang sirsak iwak
blanak
Wonge blesak ambune
blenak
Bagen
mlarat baridin lanang
Demen
wadon ikuh wenang
Mekonon soten lanang
gah apa lanange
Mekonon soten wadon
gah apa wadone
Wadone kula larang
regane
Ora pantes baridin
jodone
Yen
bli kelakon sun bagen lara badane
Lamun kelakon isun si
bagen edane
Ngomong
mkonon apa temanan
Gelem sumpah pitung
turunan[3]
Ahh…, betapa mengingatnya
adalah hal terindah yang bisa ia rasakan saat ini. Kekenesan gadis itu malah
membuat hatinya ketar-ketir menahan cinta yang memenuhi jiwanya. Namun bukan
kepalang kagetnya saat dilihatnya Mak Wangsih pulang dengan berurai air mata.
Lantas debar-debur yang ia rasakan beberapa saat tadi kini berganti menjadi
cemas yang tiada terkira. Pasti ada hal buruk yang menimpa Maknya. Dan yang
lebih membuatnya cemas adalah inti hal buruk itu adalah menimpa dirinya. Ya,
mungkin saja…
“Baridin…!” ucap Maknya
seketika di depan anak lelaki semata wayangnya. Lengan baju yang ia kenakan
sudah kuyup dengan air mata yang terus mengalir sepanjang jalan. “Sing sabar, Cung. Ratmina ikuh dudu
golongane kita. Bli pantes dadi jodoe sira. Wis Cung, lurua wadon sejen bae.[4]”
“Memangnya kenapa, Mak?
Lamaranku bagaimana, Mak?” jawab Baridin dengan sangat penasaran.
“Sudah jangan pikirkan lagi.
Lamaranmu mereka tolak. Malah Makmu ini mereka anggap pengemis. Ratmina tidak peduli
sama sekali.”
“Tidak mungkin, Mak. Mak
sudah ngomong baik-baik? Coba sekali lagi Mak! Tolonglah Mak coba sekali lagi!
Anakmu ini tidak akan bisa hidup tanpa Ratmina, Mak.”
“Baridin!” keluh Maknya.
Didekatinya anaknya. Dielusnya pundak anak lelakinya. “Dengarkan Mak, cari saja
wanita lain. Entah tetangga kita, entah anak teman Mak sewaktu tandur atau
teman bermainmu. Mak akan melamarkannya untukmu. Asal jangan Ratmina. Mak tidak
tahan direndahkan seperti itu.”
“Mboten, Mak! Baridin cuma pengen Ratmina.”
“Jadi kamu tidak mau
mendengarkan Makmu?” tanya Mak tak percaya.
“Tidak, Mak.”
“Kalau begitu pergi kau dari
sini! Kau lebih memilih membiarkan Makmu direndahkan daripada memilih wanita
lain. Tidak pantas kau menjadi anakku!” kata Maknya.
Seolah ada halilintar yang
mengagetkannya. Seketika itu juga ia tidak bisa berkata apa-apa. Hatinya hancur
mendengar lamarannya ditolak dan kini Maknya sendiri menyingkirkannya. Lantas
dengan kaki telanjang dijejakinya tanah kering berdebu sepanjang jalan rumahnya
menuju kebun dan sawah.
Kemilau senja mengantar para
petani yang selesai mencuci cangkul dan bajunya di sungai beranjak pulang ke
rumah. Tapi tidak Baridin. Hatinya murung, suram dan kelabu tak secerah senja
sore itu.
Perlahan dari belakang teman
karibnya menghampiri. “Din! Kenapa kamu, Din?”
Baridin tak menjawab.
Pikirannya melayang tak tahu arah. Ia bingung sendiri. Maknya mengusir ia dari
rumah. Uang tak punya, harta benda hanya pakaian yang ia kenakan. Malam nanti
ia belum tahu akan tidur di mana.
“Din!” kembali teman
karibnya memanggil.
“Ya, Dinulur. Sira kuh weruan bae ana batur lagi nelangsa.
Tapi sayang, sira durung pernah ngrasani larane wong kapegot tresna.[5]”
“Kamu sakit hati karena
Ratmina menolak lamaranmu, Din. Aku tahu dari Makmu. Dan apa kau tahu Din?
Sebagai seorang teman aku tidak tega melihatmu seperti ini.”
”Kesuwun, Lur. Melase sira bli bakal bisa ngobati laranengati.[6]”
Mata hatinya barangkali
sudah tertutup oleh kelabu perasaannya. Barangkali hatinya pun benar-benar
sudah remuk yang berbentuk sehingga tak dihiraukannya tiap perkataan teman
karibnya itu. Matahari semakin memerah. Semakin terasa cepat waktu berlalu.
“Sepertinya warisan bapakku
tepat untukmu, Din.”
Baridin masih terdiam. Ia
tidak ingin mendengar bualan sahabatnya. Ia tahu, Dinulur hanya yatim piatu
yang papa. Ia tak punya apa-apa. Orang tuanya pun dulu hanya seorang kuli
sawah. Kakek-nenek tak ada. Hanya hidup sendiri. Tempat tinggal hanya gubuk
rumbia yang tak jauh beda dengan rumah Maknya. Tak mungkin ada warisan yang
sempat ditinggalkan orang tuanya.
“Eh, Din. Kau tidak percaya
kalau bapak mewariskan sesuatu padaku?” tanya Dinulur mencoba mengalihkan
perhatian Baridin.
“Bli ngandel!”[7]
“Kalau kau benar-benar cinta
Ratmina, warisan bapakku ini pantas untuk kau coba, Din. Coba lihatlah!”
“Apa itu, Dinulur? Kertas
kumal dengan tulisan aksara jawa kuna? Apa ini Dinulur?
“Itulah bacaan kemat Jaran
Goyang, Din,” jawab Dinulur dengan terkekeh. Ia begitu senang melihat
sahabatnya beralih perhatian.
Kedua mata Baridin kini
begitu lekat memperhatikan tiap hurufnya. Tiap kata ia eja dengan begitu
seksama. Perkata, perkalimat perlahan ia hapalkan. Senyumnya seketika merekah. Dinulur
terkekeh melihat senyum kembali merekah di bibir sahabatnya. Sebagai seorang
sahabat dari kecil memang sudah sepantasnya membantu kesusahan temannya.
Matahari sudah tenggelam.
Gelap menyelimuti. Dari kejauhan kelap-kelip obor yang menerangi tiap rumah
terlihat menembus reranting semak belukar yang tumbuh sembarang dan memenuhi
kebun. Bebunyi jangkrik dan katak sawah bersahutan seolah arak-arakan sebuah
pesta besar untuk alam tengah dimulai.
Baridin beranjak dari
duduknya. Bersama teman karibnya ia melangkah pulang. Ia akan tidur di gubuk
sahabatnya. Tengah malam nanti, tepat malam jum’at kliwon ia akan
merapalkannya. Ya, hatinya mantap untuk melakukan itu. Cinta telah membuat
tekadnya bulat. Suratmina harus bisa ia luluhkan.
*****
40 hari pun berlalu. Terik
siang begitu hangat menerpa bumi. Bebunyi belalang sawah terdengar dari
beberapa sudut.
CETARRR…! Dilecutkannya
cambuk kecil untuk menondorong kembali tenaga kerbau yang dirasa mulai
melambat. Tak jauh beda dengan Baridin yang memegang kendali. Napasnya begitu
pelan. Dengan kedua mata yang lemah menatap. Juga hanya sedikit tenaga yang ia
punya. Ya, telah 40 hari perutnya tidak kemasukan makanan dan minuman. Entah
akan sampai pada napas yang ke berapa nyawanya terenggut.
Di antara hentakan kerbau di
tengah sawah, lamat-lamat dilihatnya seorang perempuan dengan pakaian
compang-camping berjalan tergesa-gesa mendekat.
“Kang Baridin…!” pelan
didengarnya perempuan itu memanggil namanya.
“Kang Baridin, kulane melu, Kang…” . Kini ia yakin ia
tak salah dengar. Perempuan dengan dandanan yang sudah tidak karuan itu memang
memanggil-manggil namanya.
Semakin dekat semakin jelas
Baridin melihat wajah perempuan itu. Dan sedetik kemudian ia terkesiap. Ya,
perempuan itu pasti perempuan yang telah menolak lamarannya tempo dulu. Ya, dia
Suratmina.
“Suratmina! Lhoh… lhoh…
jadi kamu benar gila ya? Ternyata benar
kata Dinulur, Suratmina gila karena kemat Jaran Guyang.” Baridin terkekeh
melihat melihat kenyataan persis seperti yang ia inginkan.
“Kang Baridin, kulane melu, Kang. Yuk kita nikah yuk!
Hehehe… hehehe…!”
Sekarang
kau malah meminta-minta dinikahi. Mana Suratmina yang dulu mengaku dilamar
pilot, pengusaha, orang gedungan? Sekarang malah minta dinikahi Baridin yang
hanya tukang bajaka sawah, lelaki miskin. Tapi Baridin tidak akan sudi
menikahimu, Suratmina. Karena congkakmu Mak Wangsih sampai mengusirku dari
rumah.
“Kang… ayo nikah kang! Kang…
Ba…” terputus-putus Suratmina berkata. Napasnya dengan seketika melambat dengan
drastis. “Kang Ba… ri… di..n!” dan hilang. Tubuhnya pun ambruk di depan
Baridin.
Baridin hanya melongo
melihat itu. Kakinya seakan terpaku melihat itu. Beberapa petani yang kebetulan
melihatnya berteriak-teriak memberi tahu yang lain. Dan segeralah mereka
berdatangan. Dinulur yang kebetulan pun ada di situ dengan cepat menghampiri
Baridin.
“Din, kok wajahmu pucat
sekali. Din…!” Dinulur memanggil-manggil Baridin yang mulai kehilangan
kesadarannya.
“Kepengenan kula kelakon Lur. Sekien kula wis tenang!”[8] tepat beberapa detik
setelah Baridin mengatakan itu, badannya ambruk. Dinulur memegang pergelangan
tangan Baridin dan memeriksa nadinya. Lenyap. Tak ada lagi denyut nadinya.
“Innalillahi…”
#selesai#
Tegalkarang, 21 September 2014
#Purakasastra Edisi 2 Tahun 1-November 2014
[1] Keseluruhan cerita ini diambil
dari cerita drama Tarling Klasik daerah Cirebon dengan judul Baridin.
[2] Membajak.
[3] Ini aku yang bernama
Baridin/hidup sedang menderita batin/tiap hari menyandang malu/karena belum
pernah kawin(nikah)//mau kawin atau belum tak tanya/sebab siapa padahal banyak
perempuan/bunga sirsak ikan blanak/orangnya jelek baunya tidak enak//biarpun
miskin Baridin lelaki/mencintai perempuan itu boleh//begitupun siapa dulu
perempuannya/begitupun siapa dulu lelakinya/perempuan itu saya mahal
harganya/tidak pantas berjodoh Baridin//kalau tidak tercapai tak apa sakit
badan ini//kalau tercapai lebih baik aku gila//ngomong seperti itu apa
benar//berani sumpah tujuh turunan.
Pantun berbalas yang dilakukan Baridin dan Suratmina
sebagai dialog dalam Drama Tarling.
[4] Yang sabar, Cung. Ratmina
bukanlah golongan kita. Tidak pantas jadi jodohmu. Cari saja wanita lain.
[5]
Kau tahu saja ada teman
lagi nelangsa. Tapi sayang, kau tidak pernah merasakan sakitnya patah hati.
[6]
Terimakasih, Lur. Rasa
kasihanmu tidak bisa mengobati hati yang terluka.
[7]
Tidak percaya.
[8] Keinginanku sekarang tercapai,
Lur. Sekarang aku sudah tenang.
0 comments:
Post a Comment