Saturday, July 4, 2015



Oleh: Christin Putri Ayuastuty

I. Pengantar
Orang mungkin bisa membuat puisi. Tetapi tidak banyak orang yang bisa membedah puisi. Banyak penyair yang kesulitan membedah puisi orang lain. Harus diakaui membedah puisi bukanlah perkara gampangan. Butuh konsentrasi yang tinggi, untuk menelusuri jejak makna yang terkandaung dalam tulisan puisi.Belum lagi, persoalan para penyair yang menggunakan bahasa-bahasa khusus, yang tidak mudah dimengerti serta kemampuan para pembedah yang kurang mantap.Barangkali, dari persoalan seperti itulah yang menyebabkan munculnya krisis apresiator.
Mengutip apa yang dikatakan oleh Ricky Richard Sehajun, “ perkara bedah adalah perkara seni menafsir. Penyair lekat dengan, kebebasan dalam ‘mempermainkan’ kata menjadi puisi. Pun pula, apresiator lekat dengan kebebasan menafsir. Dalam perspektif tafsiran puisi, tidak ada yang disebut kegagalan menafsir. Gerak dan rentetan tafsir, yang kerap kali tidak sesuai dengan ide penyair, bukanlah sebuah kebodohan.Justru, menampilkan teater menarik dalam kontek pengembangan makna awali. Seorang Apresiator adalah pahlawan penjelas dalam teater puisi yang berwajah muram.
Ia seolah-olah menjadi medium langsung yang mempertemukan penyair dan pembaca, juga antarpembaca.”

II. Bagaimana  Membedah Puisi
Kemampuan membedah karya puisi, tidak muncul begitu saja. Ia perlu diasah, dilatih sehingga menjadi tajam. Puisi bisa dikupas, jika orang dibawa pada pergumulan identitas unsur puisi. Unsur yang dimaksd yakni Intrinsik dan Ektrinsik.
Unsur Intrinsik bermuara dari dalam tubuh puisi, mencakup; pergumulan tema, imajinasi dan rasa, simbolis, musikalitas, diksi, penokohan, pencitraan, amanat/ pesan, makna, tipografi, rima, aliran dan jenis. Unsur ektrinsik bermuara dari luar tubuh puisi, mencakup ; konteks hidup penyair, situasi ekonomi, sosial, politik, agama, budaya, dll. Dalam membedah puisi, sebaiknya, dibedah perbait, sehingga nampak ulasan bedah yang komprehensif. Berikut teknik membedah puisi.
1.         Ekstrinsik
A.         Biografi penyair (Menerka tokoh-tokoh yang mempengaruhi penyair)
B.         Situasi dan konteks puisi dibuat ( Sosio-Kultur, agama, politik, dll)
2.         Intrinsik Puisi
A.         Pengantar Singkat
Memberi latar belakang soal alasan membedah puisi.
B. Pergumulan Tema atau Judul
Judul sangat penting dalam puisi. Ia merupakan  gagasan inti yang dikristalkan. Pada saat membaca judul, lontarkan beberapa pertanyaan. Misalnya; apa kira-kira yang ingin disampaikan oleh penyair dengan judul tersebut? Apa nanti ada kesesuaian antara judul dan tubuh puisi? Apakah puisi tersebut betul-betul mengulas tuntas soal judul? Siapa (objek) yang ditelusuri dalam perspektif penyair.
C.  Struktur fisik
1.  Diksi (Simbolisasi dan majas)
Menelususi penggunaan bahasa simbol. Penggunaan majas dan gaya bahasa yang dipakai. Mencari makna simbol, kata kiasan, majas yang diberikan oleh pengarang. Gaya kata yang berkaitan dengan tubuh teks puisi (misalnya, alam, manusia,binatang, dll). Tujuan, menemukan rasa estetika dan ragam bahasa yang dipakai.
2. Versifikasi : rima, ritma dan metrum.
Rima adalah pengulangan bunyi untuk membentuk orkestrasi dalam puisi. Ritma/ Ritme: soal kenampakan gerakan bunyi tinggi dan rendah, keras dan lembut. Metrum : Irama dan tekanan suku kata setiap bait. Metrum juga akan terlihat ketika puisi dibacakan dengan baik, sesuai dengan tanda baca yang memberi  alur tekanan dan rotasi nafas yang putus-sambung. Menggunakan rima apa dalam puisi? Termasuk penjelasan soal irama yang ditimbulkan oleh rima, sehingga memunculkan luapan orkestrasi yang indah dan kuat.
 3. Tipografi (Tampilan teks).
Telaah soal tampilan baris. Berapa baris dan bait.  Aliran dan jenis Puisi. Soal, penggolongan puisi.
D.  Struktur batin (sense, feeling, tone, intention)
1. Situasi batin (Imajinasi dan perasaan)
Pembaca dibawa pada situasi real? Imajinatif?. Mengenai perasaan senang, sedih, menakutkan, khawatir, horor.
2. Menafsir Pesan (Amanat)
     Apa sesungguhnya yang disampaikan oleh penyair untuk pembaca. Apakah puisi tersebut merupakan jawaban atas sebuah masalah? Mengulas tokoh? Mendeskripsikan pengalaman pahit, suka duka. Apa yang ingin disampaikan penyair tentang dirinya?
E.  Kesimpulan
Mencakup kesimpulan, kritik teks dan saran. Entah itu untuk teks maupun untuk pembaca. Bisa ditambahkan dengan catatan tertentu.

III.   Penutup
Membedah puisi memang berada dalam konteks tafsiran, berdasarkan cara berpikir masing-masing orang. Barangkali tulisan ini, menjadi salah satu alternative penuntun bagi siapa saja yang ingin menafsir puisi.

[1] Ricky Richard Sehajun, dalam catatan di Group Ruang Imajinasi, pengungakapan sastra dan kreatif bermain kata-kata. https://www.facebook.com/notes/ruang-imajinasi-pengungkapan-rasa-dan-kreatif-bermain-kata-kata/membedah-puisi/758477200856838. Akses, 15 Februari 2015.
 [2] Bdk. Catatan dari Ricky Richard Sehajun, dalam https://www.facebook.com/notes/ricky-richard-qzjun/menulis-esai/951769388169010
Majalah Purakasastra kembali hadir di Edisi 4, kami menyajikan beragam ulasan yang dapat merangsang keinginan anda untuk membaca, diantaranya: mengenal lebih dalam perpuisian Indonesia, tokoh sastra yang dikagumi, cerpen, esai sastra dan beberapa rubrik lainnya yang menarik untuk dibaca. Semoga artikel dan karya dalam Edisi 4 ini dapat memuaskan dahaga minat anda dalam mengikuti dinamika perkembangan sastra Indonesia.
Karena anda membaca, kami pun ada. Kita hadir karena keberadaan sastra Indonesia.Purakasastra berbicara bahwa sesungguhnya sastra kabarkan segala.

Untuk menikmati sajiannya download majalah Purakasastra versi pdfnya di sini.
Dan bisa juga download langsung di sini


Jadikan Purakasastra sebagai acuan anda dalam mengenal sastra lebih jauh.
Mulai edisi 4 anda bisa mulai menikmati sajian Purakasastra dengan harga hanya Rp 5.000 per edisi.
Info lebih lanjut kunjungi fb Mas Ade Jeh di https://www.facebook.com/juniy.aburame

Sahabat Sastra,
Edisi Ketiga Majalah Purakasastra telah hadir di hadapan Anda. Tema yang diusung kali ini adalah Sastra Cyber. Kehadiran dunia cyber telah memberikan rangsangan imajinatif dalam bingkai kesusastraan. Kian hari, urusan sastra, semakin mengalami reinterpretasi. Dunia cyber seolah-olah menjadi pemicu dan pemacu, atas lahirnya penulis-penulis sastra dengan wajah baru.Lantas, dunia cyber menjadi ruang terbuka, bagi setiap jiwa untuk berekspresi, realisasi bakat, mengkristalkan imajinasinya dalam bentuk tulisan sastra.
Kajiansastra, puisi, cerpen, informasi sastra, artikel, yang kami tampilkan dalam edisi ini, begitu menakjubkan. Ulasan demi ulasan menyuguhkan makna mendalam soal pergumulan identitas manusia dan segala dimensi keberadaannya. Pertanyaan-pertanyaan soal gairah sastra, barangkali telah termaktub dalam setiap tulisan yang ada.Penasaran anda akan segera terjawab.
Salam Sastra,


Untuk menikmati sajiannya download majalah Purakasastra versi pdfnya di sini.
Anda juga bisa membaca online Purakasastra edisi 3 ini di https://issuu.com/majalahpurakasastra/docs/purakasastra_edisi_3

Tentang wajah puisi. Ia bersketsa bebas. Atas nama kebebasan, panji puisi bertarung lincah. Ia dipaksa masuk dalam bursa pergaulan bebas. Saking bebasnya, ia mereformasi ketaatan konstitusi dalam sistem kepenulisan. Konstitusi dibunuh secara brutal oleh panyair. Soal pembunuhan tersebut, penyair merayakan gegap gempita.


Ia menemukan roh puisi dari tewasnya kelekatan struktur kepenulisan, di bawah alasan licentia poetica. Sebuah alasan melegalitaskan kebebasan bernafas kekal dalam memelintir kata supaya ber-nas. Pelintiran bertujuan mencuatkan efek tertentu dalam puisinya. Seolah-olah penyair melakukan tindakan manipulasi kata. Ia menerjang kaidah kebahasaan, hingga ambruk dengan wajah gulana. Lantas, nasib tata kepenulisan berada di ujung ketakjelasan.

Kebebasan memberi dimensi kreatif. Itu benar. Ia digadang  sebagai benteng penyair. Tak pernah rapuh atau pun terjungkal oleh badai kritik dan tanya. Penyair, menjadi bebas melakukan manuver katatak sopan. Nilai etika dan moral, diterabas secara paksa. Penyair tidak lagi menjadi pewarta sekaligus penata kebenaran rasional. Ia dipancing dengan kail amoral.

Kebebasan itu, menjelma menjadi Tuhan atas segala kegamangan menafsir. Ia disembah. Ia adalah jelmaan sumber kebebasan valid dalam puisi. Ia malah lebih bebas dari konsep kebebasan filsafat eksistensialisme kiri. Ia terbang mengikuti alurnya sendiri. Ia memegang perintah mutlak. Setiap muncul nada tanya soal makna leksikal, fonologi, semantis dan sintaksis, ditekuk tunduk  pada suara yang dilancangkan oleh licentia poetica. Tak ada yang bisa berkutik. Tak ada kehilangan intelek penyair. Apalagi pencideraan makna sebuah puisi.

Menyangkut tata bahasa beserta makna, wajah puisi dicoret dari banyak sisi. Ia seperti bidadari misteri. Setiap orang yang melihatnya, berusaha membuka tabir misteri itu.

Aurat kemisteriannya, dipicu oleh peristiwa kontemplasi. Jadinya, puisi dimengerti dalam arus kontemplatif. Orang dibawa ke berkas pergulatan dalam keheningan. Dalam simponi keheningan itulah, orang bisa mencapai dimensi transenden. Pada titik transenden, puisi harus menampilkan wajah sastra dengan penuh keceriaan. Mengarahkan orang pada situasi terang dan kebahagiaan. Bukan menghadirkan peristiwa gelap yang menghantui ide pembaca. Membawa orang pada refleksi kritis, untuk menafsir dengan tajam dan tukik. Paling tidak,  kehadiran puisi, mengubah cara pandang orang terhadap apa saja yang terkait dengan pola tafsirannya.

Puisi itu multi tafsir. Pada lingkup tafsiran, puisi membawa orang pada pengalaman eksistensial. Yang dimaksud adalah orang dirujuk keluar dari dirinya, sembari membuka tabir identitasnya sebagai pembaca. Penafsir digenggam oleh pengalaman yang berada di luar kontrol dirinya. Jadi, dalam peristiwa menafsir, orang dibawa pada dimensi pengosongan diri. Penafsir menjemput sekaligus menyambut pribadi lain masuk ke dalam ruang pikiran dan rasanya.

Antara ide dan rasa penyair, dibungkus oleh ide dan rasa sang penafsir. Dalam konteks inilah, puisi menampilkan pola sosial yang dijiwai spirtualitas pengorbanan. Penafsir, rela dijajah akalbudinya untuk sebuah kebenaran pengetahuan awali. Penafsir bersenggamaan dengan teks serta bergerak menyatukan diri dengan ide sang Penyair. Persengamaan itulah yang membawa pembaca pada pengalaman totalitas makna. Sebuah pengalaman kemengertian yang dipicu oleh imajinasi dan rasa sang penyair.

Setiap puisi lahir dari kandungan rasa dan imajinasi.  Alam rasa dan imajinasi merupakan ruang tanpa batas. Ia menyertakan peluang jelajah yang luas dan dalam. Itulah yang memberi warna misteri pada puisi. Mengungkap tuntas misteri tersebut membutuhkan daya tafsiran yang menggetarkan. Penyair membuat puisi berdasarkan tafsirannya. Pembaca akan menafsir puisi yang telah ditafsirkan oleh penyair. Tafsiran pembaca, akan di tafsirkan juga, oleh pembaca yang lainnya. Lantas, puisi bernaung pada label tafsir di atas tafsir. Saya menyebutnya rentetan tafsiran atau tafsiran bertingkat.

Manusia sekarang kerap dihadapkan pada krisis penafsiran. Menelan tanpa mengunyah. Tidak mencerna secara saksama. Menerima begitu saja, apa yang dilihat dan didengarnya. Kerusuhan pertiwi, banyak ditimbulkan oleh kekeliruan menafsir. Lihat saja, bagaimana menafsir wajah hukum. Perang tafsiran menimbulkan kesan ambigu dalam wajah hukum. Tetapi ada perbedaan wajah puisi dan wajah hukum. Dalam puisi, penafsiran berbeda memberi kekayaan makna atas sebuah puisi. Dalam hukum, penafsiran berbeda memberi ketidaknyamanan, perdebatan irasional dan kekacauan.

Pengunjung

PURAKASASTRA. Powered by Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Terpopuler