Tentang wajah
puisi. Ia bersketsa bebas. Atas nama kebebasan, panji puisi bertarung lincah. Ia dipaksa masuk dalam bursa pergaulan bebas. Saking bebasnya, ia mereformasi
ketaatan konstitusi dalam sistem kepenulisan. Konstitusi dibunuh secara brutal
oleh panyair. Soal pembunuhan tersebut, penyair merayakan gegap gempita.
Ia menemukan
roh puisi dari tewasnya kelekatan struktur kepenulisan, di bawah alasan licentia
poetica. Sebuah alasan melegalitaskan kebebasan bernafas kekal dalam memelintir kata supaya ber-nas.
Pelintiran bertujuan mencuatkan efek tertentu dalam puisinya. Seolah-olah
penyair melakukan tindakan manipulasi kata. Ia menerjang kaidah kebahasaan,
hingga ambruk
dengan wajah gulana. Lantas, nasib tata kepenulisan berada di ujung
ketakjelasan.
Kebebasan memberi dimensi kreatif. Itu benar. Ia digadang sebagai benteng penyair. Tak pernah rapuh
atau pun terjungkal oleh badai kritik dan tanya. Penyair, menjadi bebas
melakukan manuver katatak sopan. Nilai etika dan moral, diterabas secara paksa.
Penyair tidak lagi menjadi pewarta sekaligus penata kebenaran rasional. Ia
dipancing dengan kail amoral.
Kebebasan itu, menjelma menjadi Tuhan atas segala kegamangan menafsir. Ia
disembah. Ia adalah jelmaan sumber kebebasan valid dalam puisi. Ia malah lebih
bebas dari konsep kebebasan filsafat eksistensialisme kiri. Ia terbang
mengikuti alurnya sendiri. Ia memegang perintah mutlak. Setiap muncul nada
tanya soal makna leksikal, fonologi, semantis dan sintaksis, ditekuk
tunduk pada suara yang dilancangkan oleh
licentia poetica. Tak ada yang bisa berkutik. Tak ada kehilangan intelek
penyair. Apalagi pencideraan makna sebuah puisi.
Menyangkut tata bahasa beserta makna, wajah puisi dicoret dari banyak sisi.
Ia seperti bidadari misteri. Setiap orang yang melihatnya, berusaha membuka
tabir misteri itu.
Aurat kemisteriannya, dipicu oleh
peristiwa kontemplasi. Jadinya, puisi dimengerti dalam arus kontemplatif. Orang
dibawa ke berkas pergulatan dalam keheningan. Dalam simponi keheningan itulah,
orang bisa mencapai dimensi transenden. Pada titik transenden, puisi harus
menampilkan wajah sastra dengan penuh keceriaan. Mengarahkan orang pada situasi
terang dan kebahagiaan. Bukan menghadirkan peristiwa gelap yang menghantui ide
pembaca. Membawa orang pada refleksi kritis, untuk menafsir dengan tajam dan
tukik. Paling tidak, kehadiran puisi,
mengubah cara pandang orang terhadap apa saja yang terkait dengan pola
tafsirannya.
Puisi itu multi tafsir. Pada lingkup
tafsiran, puisi membawa orang pada pengalaman eksistensial. Yang dimaksud
adalah orang dirujuk keluar dari dirinya, sembari membuka tabir identitasnya
sebagai pembaca. Penafsir digenggam oleh pengalaman yang berada di luar kontrol
dirinya. Jadi, dalam peristiwa menafsir, orang dibawa pada dimensi pengosongan
diri. Penafsir menjemput sekaligus menyambut pribadi lain masuk ke dalam ruang
pikiran dan rasanya.
Antara ide dan rasa penyair, dibungkus
oleh ide dan rasa sang penafsir. Dalam konteks inilah, puisi menampilkan pola
sosial yang dijiwai spirtualitas pengorbanan. Penafsir, rela dijajah
akalbudinya untuk sebuah kebenaran pengetahuan awali. Penafsir bersenggamaan dengan
teks serta bergerak menyatukan diri dengan ide sang Penyair. Persengamaan
itulah yang membawa pembaca pada pengalaman totalitas makna. Sebuah pengalaman
kemengertian yang dipicu oleh imajinasi dan rasa sang penyair.
Setiap puisi lahir dari kandungan rasa
dan imajinasi. Alam rasa dan imajinasi
merupakan ruang tanpa batas. Ia menyertakan peluang jelajah yang luas dan
dalam. Itulah yang memberi warna misteri pada puisi. Mengungkap tuntas misteri
tersebut membutuhkan daya tafsiran yang menggetarkan. Penyair membuat puisi
berdasarkan tafsirannya. Pembaca akan menafsir puisi yang telah ditafsirkan
oleh penyair. Tafsiran pembaca, akan di tafsirkan juga, oleh pembaca yang
lainnya. Lantas, puisi bernaung pada label tafsir di atas tafsir. Saya
menyebutnya rentetan tafsiran atau tafsiran bertingkat.
Manusia sekarang kerap dihadapkan pada
krisis penafsiran. Menelan tanpa mengunyah. Tidak mencerna secara saksama.
Menerima begitu saja, apa yang dilihat dan didengarnya. Kerusuhan pertiwi,
banyak ditimbulkan oleh kekeliruan menafsir. Lihat saja, bagaimana menafsir
wajah hukum. Perang tafsiran menimbulkan kesan ambigu dalam wajah hukum. Tetapi
ada perbedaan wajah puisi dan wajah hukum. Dalam puisi, penafsiran berbeda
memberi kekayaan makna atas sebuah puisi. Dalam hukum, penafsiran berbeda
memberi ketidaknyamanan, perdebatan irasional dan kekacauan.
0 comments:
Post a Comment