Saturday, July 4, 2015


Tentang wajah puisi. Ia bersketsa bebas. Atas nama kebebasan, panji puisi bertarung lincah. Ia dipaksa masuk dalam bursa pergaulan bebas. Saking bebasnya, ia mereformasi ketaatan konstitusi dalam sistem kepenulisan. Konstitusi dibunuh secara brutal oleh panyair. Soal pembunuhan tersebut, penyair merayakan gegap gempita.


Ia menemukan roh puisi dari tewasnya kelekatan struktur kepenulisan, di bawah alasan licentia poetica. Sebuah alasan melegalitaskan kebebasan bernafas kekal dalam memelintir kata supaya ber-nas. Pelintiran bertujuan mencuatkan efek tertentu dalam puisinya. Seolah-olah penyair melakukan tindakan manipulasi kata. Ia menerjang kaidah kebahasaan, hingga ambruk dengan wajah gulana. Lantas, nasib tata kepenulisan berada di ujung ketakjelasan.

Kebebasan memberi dimensi kreatif. Itu benar. Ia digadang  sebagai benteng penyair. Tak pernah rapuh atau pun terjungkal oleh badai kritik dan tanya. Penyair, menjadi bebas melakukan manuver katatak sopan. Nilai etika dan moral, diterabas secara paksa. Penyair tidak lagi menjadi pewarta sekaligus penata kebenaran rasional. Ia dipancing dengan kail amoral.

Kebebasan itu, menjelma menjadi Tuhan atas segala kegamangan menafsir. Ia disembah. Ia adalah jelmaan sumber kebebasan valid dalam puisi. Ia malah lebih bebas dari konsep kebebasan filsafat eksistensialisme kiri. Ia terbang mengikuti alurnya sendiri. Ia memegang perintah mutlak. Setiap muncul nada tanya soal makna leksikal, fonologi, semantis dan sintaksis, ditekuk tunduk  pada suara yang dilancangkan oleh licentia poetica. Tak ada yang bisa berkutik. Tak ada kehilangan intelek penyair. Apalagi pencideraan makna sebuah puisi.

Menyangkut tata bahasa beserta makna, wajah puisi dicoret dari banyak sisi. Ia seperti bidadari misteri. Setiap orang yang melihatnya, berusaha membuka tabir misteri itu.

Aurat kemisteriannya, dipicu oleh peristiwa kontemplasi. Jadinya, puisi dimengerti dalam arus kontemplatif. Orang dibawa ke berkas pergulatan dalam keheningan. Dalam simponi keheningan itulah, orang bisa mencapai dimensi transenden. Pada titik transenden, puisi harus menampilkan wajah sastra dengan penuh keceriaan. Mengarahkan orang pada situasi terang dan kebahagiaan. Bukan menghadirkan peristiwa gelap yang menghantui ide pembaca. Membawa orang pada refleksi kritis, untuk menafsir dengan tajam dan tukik. Paling tidak,  kehadiran puisi, mengubah cara pandang orang terhadap apa saja yang terkait dengan pola tafsirannya.

Puisi itu multi tafsir. Pada lingkup tafsiran, puisi membawa orang pada pengalaman eksistensial. Yang dimaksud adalah orang dirujuk keluar dari dirinya, sembari membuka tabir identitasnya sebagai pembaca. Penafsir digenggam oleh pengalaman yang berada di luar kontrol dirinya. Jadi, dalam peristiwa menafsir, orang dibawa pada dimensi pengosongan diri. Penafsir menjemput sekaligus menyambut pribadi lain masuk ke dalam ruang pikiran dan rasanya.

Antara ide dan rasa penyair, dibungkus oleh ide dan rasa sang penafsir. Dalam konteks inilah, puisi menampilkan pola sosial yang dijiwai spirtualitas pengorbanan. Penafsir, rela dijajah akalbudinya untuk sebuah kebenaran pengetahuan awali. Penafsir bersenggamaan dengan teks serta bergerak menyatukan diri dengan ide sang Penyair. Persengamaan itulah yang membawa pembaca pada pengalaman totalitas makna. Sebuah pengalaman kemengertian yang dipicu oleh imajinasi dan rasa sang penyair.

Setiap puisi lahir dari kandungan rasa dan imajinasi.  Alam rasa dan imajinasi merupakan ruang tanpa batas. Ia menyertakan peluang jelajah yang luas dan dalam. Itulah yang memberi warna misteri pada puisi. Mengungkap tuntas misteri tersebut membutuhkan daya tafsiran yang menggetarkan. Penyair membuat puisi berdasarkan tafsirannya. Pembaca akan menafsir puisi yang telah ditafsirkan oleh penyair. Tafsiran pembaca, akan di tafsirkan juga, oleh pembaca yang lainnya. Lantas, puisi bernaung pada label tafsir di atas tafsir. Saya menyebutnya rentetan tafsiran atau tafsiran bertingkat.

Manusia sekarang kerap dihadapkan pada krisis penafsiran. Menelan tanpa mengunyah. Tidak mencerna secara saksama. Menerima begitu saja, apa yang dilihat dan didengarnya. Kerusuhan pertiwi, banyak ditimbulkan oleh kekeliruan menafsir. Lihat saja, bagaimana menafsir wajah hukum. Perang tafsiran menimbulkan kesan ambigu dalam wajah hukum. Tetapi ada perbedaan wajah puisi dan wajah hukum. Dalam puisi, penafsiran berbeda memberi kekayaan makna atas sebuah puisi. Dalam hukum, penafsiran berbeda memberi ketidaknyamanan, perdebatan irasional dan kekacauan.

0 comments:

Post a Comment

Pengunjung

PURAKASASTRA. Powered by Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Terpopuler