Tuesday, December 9, 2014

(Oleh: Nara Sambulawa, (Elfridus Silman, SMM, SS)
 
            …and what are poets for in a destitute time?[1] Demikian Martin Heidegger[2] (1889-1976) memulai kalimat awal essay-nya yang berjudul, What are Poets for. Pertanyaan ini, juga di diajukan oleh seorang penyair  besar Jerman abad 20, yakni Hölderlin,[3] dalam puisinya yang berjudul Bread and Wine. Sebuah pertanyaan menukik yang menyentuh persoalan hakekat seorang penyair. Heidegger menyukai puisi-puisi Hölderlin. Kesukaan tersebut memberi penegasan bahwa ia seorang penikmat puisi. Essay-nya, tentang What are Poets for, memberi ulasan mendalam soal “siapakah manusia itu”? Bagi, Martin Heidegger puisi adalah bahasa tertinggi. Bahasa puisi mampu membawa orang pada pengertian mendalam tentang otentisitas manusia beserta segala sesuatu yang hadir bersamannya dalam kehidupan.
   Pertanyaan Heidegger, “untuk apa para penyair”? bukan pertama-tama mempertanyakan tujuan kehadiran seorang penyair di telinga dan mata para pengagumnya, melainkan mengantar manusia pada jalan ekspolorasi filosofis tentang keberadaannya. Apakah yang dapat menciptakan syair-syair? Rembulan, mentari, bintang, tetumbuhan, angin, ataukah bunga? Tentu tidak. Hanya seorang penyair yang dapat mengungkapkan bahwa rembulan, mentari, bintang, tetumbuhan, dan bunga, bisa berkata dan bersyair. Hanya manusia yang dapat menciptakan syair-syair. Bagi Heidegger, manusia yang dapat menciptakan syair adalah manusia otentik, yang secara eksisitensial berada dalam Destitute time. Namun, apakah manusia  otentik itu?
     Dalam karyanya, Sein und Zeit (Ada dan Waktu), Heidegger mengulas tentang manusia sebagai realitas Ada yang bereksistensi, dalam kemenduniaan dan kemewaktuan. Heidegger menyebut manusia dengan terminologi yang khas, yaitu Dasein. Kata Dasein dalam bahasa Jerman merupakan bentukan dari kata dasar, Da (secara harafiah berarti; di sini/di sana) dan Sein (menjadi/ada)[4].  Problem linguistik ini kerap kali mengakibatkan inkonsistensi dan ketidaktepatan dalam penerjemahan konsep Dasein Heidegger. Term ini secara tepat dapat diterjemahkan dengan “Ada-di-sana”. Sebab, bagi Heidegger, manusia bukanlah seperti yang kita lihat “di sini”. Tetapi manusia adalah dia, yang memiliki segala kekayaan “di sana[5]”. “Di-sana”, tidak merujuk pada suatu tempat. Tetapi memaksudkan makna kedalaman manusia yang tidak terlihat.[6] Keistimewaan manusia (Dasein) dari antara benda-benda (seiendes) adalah kemampuannya untuk mempertanyakan dirinya, dan segala sesuatu yang terlingkup oleh kesadarannya. Manusia “yang bertanya” mengindikasikan sebuah pencarian makna.
Manusia paling otentik adalah manusia yang berada dalam destitute time. Destitute merupakan sebuah karakter situasional ketiadaan uang, makanan, rumah, kepemilikan[7] atau apa pun yang membuat hidup itu bermukim pada zona nyaman. Dalam destitute time manusia mengalami situasi naturalnya sebagai manusia. Heidegger menguraikan destitute time secara radikal dengan menginterpretasi kata abyss, sebagaimana yang telah digunakan Hölderlin. Abyss (abyground) adalah dasar, di mana akar menusuk dan berpijak.[8] Di situlah manusia menemukan kodrat naturalnya. Manusia mengalami eksistensinya sebagai manusia murni, dengan kesadaran penuh akan Ada-nya. Ia mengalami dirinya sebagai manusia yang mencari makna sekaligus lapangan pencarian makna itu[9]. Dan, siapakah seorang penyair dalam Destitute time? Ia adalah figur yang menemukan originalitas manusia yang terjalin secara relasional-eksistensial dengan segala sesuatu yang hadir bersamanya dalam hidup.
Menjadi penyair dalam destitute time artinya menghadirkan/menyingkapkan segala sesuatu untuk menemukan orisinalitasnya[10]. Ia menyingkapkan otentisitas dirinya dan segala sesuatu yang terjalin secara relasional eksistensial dengan dirinya. Ia bernyayi tentang makna keberadaan dirinya dan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Musikalitasnya tereksplorasi dalam keindahan kata. Ia adalah figur dewa yang menyingkapkan orisinalitas makna dari realitas “menjadi manusia”. Maka hakekat seorang penyair yakni sebelum dia sungguh-sungguh menjadi seorang penyair, ia berada dalam situasi destitute time. Dalam situasi itu, ia menciptakan sebuah pertanyaan puitis bagi seluruh keberadaan dan panggilannya menjadi penyair[11].  Pertanyaan puitis itulah, yang menjadi sarana penyingkap kebenaran. Dan setiap pertanyaan selalu mengindikasikan adanya pencarian.
Jalan penyingkapan itu ditempuh dengan mengalami sendiri ketersembunyian hakekat segala sesuatu (manusia, benda-benda, peristiwa) dalam bentuk kontemplasi.[12] Dalam kontemplasinya, ia menyingkap ketersembunyian hakekat segala sesuatu menjadi ketaktersembunyian. Lain kata, segala yang tersembunyi akan menjadi tampak dalam kontemplasi.  Setiap syair, merupakan jawaban atas manefastasi dari hakekat manusia beserta segala sesuatu yang ada.  Dan puisi tidak secara langsung menerangkan hakekat dari segala sesuatu yang ada[13]. Ia menerangkan sesuatu melalui simbol, dengan teknik pengunaan diksi yang indah. Namun, hakekat puisi tidak terutama pada diksi, atau pada pesan yang memukau wilayah rasa, melainkan  dialami sebagai sebuah orgasme akal budi. Sebab, in se seorang pemikir itu adalah seorang penyair, demikian pun sebaliknya. Teknik merangkai kata-kata indah juga tak dapat diabaikan. Sebab, menciptakan puisi itu adalah “the work of art.
Pertanyaannya adalah bagaimana pesan puisi sampai pada pendengar atau pembacanya? Sesungguhnya, pesan orisinalitas puisi tidak akan sampai pada pendengar atau pembacanya, jika pendengar atau pembaca tidak masuk di jalan yang sama dengan sang penyair dalam destitute time-nya. Dengan kata lain, pembaca harus masuk dalam kerangka kontemplasi penyairnya.
Lihat saja, Chairil Anwar tampak menjadi salah satu dari antara beribu tulang berserak antara Kerawang-Bekasi, dalam puisinya Kerawang Bekasi. Ia dengan kesadaran penuh bahwa ada satu titik yang mengakhiri eksistensi manusia. Titik itu mengubah segalanya. Tak ada lagi situasi eksistensial yang menandakan kehidupan. Kegelapan tanpa suara. Sebagai penyair, Anwar bertanya tentang hakekat dari tulang-tulang berserakan itu, yang  akhirnya dapat bersuara, seolah ia ada dalam dunia mereka. Hanya orang sadar sebagai manusia saja yang akan mengalami, menjadi tulang tanpa suara, yang dapat menangkap pesan kematian. Hanya orang yang peka akan situasi ketertindasan yang dapat merasakan bias terror. Anwar mampu menggeledah suara harapan dari beribu tulang yang berserakan antara Kerawang dan Bekasi.
Seorang penyair seperti Hölderlin, Chairil Anwar, adalah penyingkap kebenaran. Jalan penyingkapan itu adalah sebuah usaha untuk menjawab pertanyaan puitis yang mengitari imaginasinya dalam situasi destitute time. Panggilan menjadi penyair adalah panggilan untuk mencari jawaban atas pertanyaan “siapakah manusia?” Dengan sikap kontemplatif atas pengalaman kemenduniaan dan kemewaktuannya, sang penyair dapat menampakan kebenaran tentang realitas dirinya sebagai manusia, segala benda dan peristiwa yang terjalin secara relasional eksistensial dengan dirinya.***

  #Purakasastra Edisi 2 Tahun 1-November 2014



[1] Martin Heidegger, What are Poets For? dalam Poetry, Language, Though, New York: Harper Perennial Classic, 2001, hlm 89.
[2] Martin Heidegger, filsuf besar abad 20 asal Jerman. Pada 1923 ia menjadi professor di Universitas di Marburg. Pada 1927 ia menerbitkan karya besarnya berjudul Sein und Zeit (Ada dan Waktu). Gagasan filsafatnya banyak mempengaruhi berbagai bidang penelitian yang luas. Tradisi filsafat yang digeluti dan diwariskannya: Fenemenologi, Eksistensialisme, dan Hermeneutika. Dalam bidang Fenomenologi ia banyak berguru pada Edmund Husserl. Dalam bidang Eksistensialisme ia banyak berguru pada Nietzche dan Sorren Kierkegaard. Murid-muridnya yang menjadi filsuf terkemuka antara lain; Hanna Arendt, Hans Gadamer, Hans Jonas, Emanuel Levinas, Jacques Derrida, Jean-Paull Sartre, Leo Strauss, dll. Selain, karya besar Sein und Zeit, ratusan essay filsafat ditulisnya, termasuk beberapa diantaranya berkaitan dengan puisi (The Thinker as Poet, What are Poets for?, Language, Poetically Man Dwells).
[3] Johann Christian Freiderich  Hölderlin (1770-1843), penyair besar Jerman, kerap dikelompokan dalam aliran Romantisme.
[4]Bdk. Magda King, Heidegger’s Philosophy: A Guide To His Basic Thoght, New York:The Macmillan Company, 1964, hlm 66.
[5]Prof. Dr. Eko Armada Riynto, CM, Berfilsafat Politik, Yogyakarta: Kanisius, 2011, hlm 41.
[6]Ibid.
[7] Bdk. Cambrige Advanced Learner’s Dictionari, third edition.
[8] Martin Heidegger, Op. Cit., hlm 89.
[9]Ibid.
[10] Bdk. Martin Heidegger, Op. Cit., hlm 90.
[11] Bdk. Martin Heidegger, Op. Cit., hlm 91.
[12] Bdk. Martin Heidegger, Op. Cit.,hlm 93.
[13] Bdk. Martin Heidegger, Op. Cit.,hlm 95



Kembali terbit, majalah sastra demi memeriahkan panggung sastra nasional.
Untuk menikmati sajian lainnya yang lebih lengkap dari Purakasastra, silakan unduh versi pdf-nya GRATIS. Klik PDF Purakasastra Edisi 2 tahun 1-Nov 2014 atau bisa baca langsung melalui app ISSU di Purakasastra Edisi 2 Tahun 1-November 2014. 

Sastra kabarkan segala!
Salam,
PURAKASASTRA
Oleh:Nara Sambulawa 

Cinta itu elaborasi 
Hasrat dua pribadi 
Yang bergerak keluar dari diri 
Membiarkan diri menjadi 
Pemberian bagi yang lain 
Plenitudo perjumpaan dua hati 

 #Purakasastra Edisi 2 Tahun 1-November 2014


 Oleh:  Ricky Richard Sehajun

Mahkluk Indonesia, melolong, “kami merdeka”. Tapi, lolongan itu disenyapkan realitas. Realitas berperan antagonis. Ia berkumandang, “Indonesia belum merdeka”. Kolom kemerdekaan Indonesia terdefinisi sebagai, terlepas dari jerat penjajah asing. Itu dulu. Sekarang lain lagi. Ada redefinisi kemerdekaan. Penjajah asing terlempar. Penjajah dalam negeri terdampar. Penjajah itu terjelma dalam kemasan kemiskinan, korupsi, ketidakadilan, kecurangan. Penjajah ini menoreh luka. Punya tusukan maut. Mendatangkan  petaka. Disebut pembunuh berdarah dingin. Manusia dibuat mati pelan-pelan.
Lantas, siapa bertanggungjawab memusnahkannya? Mahluk Indonesia, bukan? Pemimpin dan rakyat. Idenya, keduanya harus bersatu. Praktisnya, tercuat perceraian. Ide pemimpin yakni mengasihi, mengatur dan menjaga. Tapi  kerap dibarengi tindakan memanfaatkan rakyat. Sebabnya, kepentingan. Hakikatnya, menilai penting atau tidak penting, tergantung kepentingannya. Perbedaan kepentingan inilah yang merangsang penjajah baru. Ia mengandeng racun tuk membungkam kesejahteraan. Lihat saja. Kata banyak calon pemimpin, “yang baik adalah menjadi pemimpin”. Tatkala jadi pemimpin, sukanya memacu dan memicu kemelaratan. Ironisnya, di tenggah situasi rakyat yang telah dipusingkan oleh terpaan kemelaratan, pemimpin tidak ambil pusing. Senyumnya riang. Tawanya terkekeh. Namun, sewaktu rapat soal rakyat, malah tertidur. Sukanya duduk di sofa. Jarang turun ke lapangan rakyat. Makanannya serba luar negeri. Kalaupun telah berorasi, cinta akan produk dalam negeri. Belum lagi soal harga BBM yang kian melonjak.  
Gilanya,  kalau sudah jadi pemimpin, yang lain dianggap tidak bisa memimpin. Mengangap diri, hanya aku yang bisa. Aku luar biasa. Yang lain berbisa. Maka, berusaha saling menjerat dan menjarah. Pemimpin mengaggap diri sehat, padahal kesehatannya terganggu. Ada sakit KKN, sakit malas dan ego yg tinggi. Dibilang masuk rumah sakit untuk direhabilitasi, malah dianggap krtikan yang tidak membangun. Dianggap melecehkan pejabat. Udah salah tafsir-kan? Pantasan segala rencana kerja tidak teratur. Tidak punya disiplin makna yang tertata karena memang ada salah tafsiran. Kalau salah tafsir, maka ngomongnya asal ngomong. Semuanya kosong. Yang kosong adalah pikiran baiknya. Kalau pikirannya kosong, besar kemungkinan ngomongnya kotor. Terjadilah janji kosong. Bahasa yang dipakai penuh gombalan maut. Muslihat yang gemilang. Tak ketinggalan  imajinasinya pada semberawut semua. Yang ada cuma suara sumbang yang juga terlahir dari kekosongan. Omong kosong seraya berpikir tong kosong. Kasihan rakyat, selalu terbawa rayuan omong kosong. Padahal mereka bertindak untuk mengisi kekosonggan diri. Maklum, di rumah mungkin yang ada hanya rumah kosong. Peralatan kosong. Jadi, pantasan mereka mengambil uang kita, jati diri kita. Kita mau berkata apa? Rasa-rasanyanya, “kata”, kita mungkin dianggap omong kosong juga bagi mereka. Pemimpin yang baik harus sehat, tidak hidup dalam kekosongan dan omong kosong.
Indonesia dibelenggu oleh tudingan omong kosong. Omong kosong terpaut dengan retorika bahasa. Lontaran kata yang seolah-olah berasal dari sang kebenaran. Padahal dari sang kejahatan. Ini, mengharuskan ada kolom intelektual yang membantai retorika omong kosong. Seraya mengantikannya dengan suara kebenaran murni. Suara kebenaran tersebut diletakan pada tangan dan mulut para sastrawan atau kritikus sastra. Suara itu, tanpa kepentingan politik. Tanpa berhamba pada kekuasaan. Bukan berminat pada sogok-sogakan. Sastrawan tidak boleh bungkam di hadapan kekuasaan. Apalagi mati ditangan ketidakadilan. Sastrawan harus berada pada jalur kepentingan kemerdekaan Indonesia. Tampilan realitas kerapkali menampilkan sastrawan yang malah mengabdi pada kekuasaan omong kosong. Dengan pengabdian tersebut, sesungguhnya kemerdekaan para sastrawan direnggut. Dibumi hanguskan. Kita berjuang untuk cinta akan kebaikan. Ketika pemerintah bertindak kapitalis, kita mengusung pengabdian pada cinta demokrasi. Sembari berusaha menariknnya pada jalur kebenaran. Kita tidak boleh menambah lagi krisis kejujuran negeri ini. Biar, negeri Indonesia dapat terbebas segala pejajah asing dan dalam negeri.

  #Purakasastra Edisi 2 Tahun 1-November 2014


Rubrik LenteraSastra
Oleh: Nilam

Dengan membaca kita dapat membuka wawasan kita tentang hal-hal baru, dimana kita juga dapat menuangkannya dengan menulis, meski dalam prakteknya menulis tidak semudah kita berpikir. Nah, karena kesulitan itulah sebagai penulis mau tak mau harus banyak mengasah kemampuan kita. Bisa dengan mempelajari banyak karya, bisa dengan meminta masukan dari orang lain untuk kemudian menerapkannya pada tulisan kita, bisa juga dengan mengikuti berbagai lomba yang kini marak diadakan di berbagai jejaring social.
Berikut ini ada beberapa tips mengikuti ajang lomba dalam dunia kepenulisan, baik  ajang lomba ilmiah maupun sastra, sebagai berikut:
1.      Kita harus tahu siapa  pihak penyelenggara lomba.
Hal ini untuk menghindari adanya unsur komersial/bisnis berkedok perlombaan. Pada kasus tertentu kita juga perlu menelusuri latar belakang pihak yang menyelenggarakan lomba.
2.      Perhatikan syarat-syarat dan  ketentuan.
Salah satu hal yang sangat menentukan karya kita terseleksi atau tidak adalah ketentuan dan syarat-syarat pada lomba. Kenapa? Karena ketika dewanjuri menyeleksi sekian banyak naskah yang masuk, dewanjuri hanya melihat karya yang sesuai dengan ketentuan dan syarat-syarat yang diberikan untuk menyingkat waktu penyeleksian lebih lanjut. Hal ini juga sebagai tanda seorang penulis menghargai dewanjuri atau tidak. Kita tentu tidak tahu menahu betapa pusingnya dewanjuri membaca banyak naskah dengan paragraph, tanda baca, EYD dan huruf yang tidak karuan.
3.      Apa Deadline dan Tema lomba.
Hal ini supaya kita pun bisa membuat target kapan naskah kita selesai dan warna apa yang akan kita pakai dalam calon karya kita. Lomba dengan tema kebudayaan tentu tidak akan menerima naskah yang bertema cinta remaja atau anak-anak kan?
4.      Criteria Karya/Selera Dewanjuri.
Pada lomba tertentu yang rutin diadakan setiap tahun (misal Sayembara Novel DKJ) atau setiap bulan, kita bisa melihat dan mempelajari karya-karya yang pernah menjadi pemenang dalam lomba tersebut. Hal ini juga merupakan cara untuk mengasah kemampuan kita dalam membaca selera Juri. Juga merupakan poin penting karena sangat menentukan nasib karya kita. Tips ini juga bisa diterapkan jika kita hendak mengirim karya ke media.
5.      Fokus
Terkadang kita tergiur dengan beberapa lomba dengan deadline yang hampir bersamaan sedangkan waktu yang kita miliki untuk menulis terbatas. Kemudian kita bingung memilih yang mana dan akhirnya karena terlalu bingung memilih kita tidak sempat mengikuti lomba satupun. Alternatifnya adalah tentukan lomba yang memiliki presentasi keberhasilan kita banyak. Kita bisa membuat presentasi kemenangan dengan melihat 4 poin di atas.
6.      Lomba bukan garis finish tapi start
Gagal menjadi pemenang dalam lomba bukan berarti kamu kalah. Bisa jadi dari situlah kamu bisa mematangkan karya kamu untuk di kemudian hari. Pun demikian menjadi pemenang dalam lomba bukanlah akhir dari totalitas karya kamu karena di waktu yang akan datang ada tantangan yang lebih besar yang harus bisa kamu taklukan dengan goresan tinta imajinasimu.
7.      Lomba adalah latihan
Semakin sering kita ikut lomba semakin kita tahu celah yang bisa kita masuki. Semakin tahu pula kalau di luar sana ada banyak penulis yang seperti kita dengan kemampuan melebihi kita atau kurang dari kita. Jadi, bikin karya dengan semua yang kita bisa dan percaya dengan karya kita sendiri adalah modal kita.
8.      Hadiah
Hadiah juga penting untuk kita tahu, karena ini juga bisa memotivasi kamu untuk menghasilkan karya yang spektakuler.
 Bagi kalian yang sudah keseringan ikut lomba tapi tak pernah menang, tetap optimis karena sejatinya seorang juara punya semangat untuk bertahan. Dan manusia punya jiwa-jiwa besar untuk mengalahkan kegagalan dan menjadi pemenang untuk diri kita sendiri.
Ayo berlomba! Dan tetap optimis. Menulislah karena dengan menulis kita telah mengasah ketajaman wawasan kita pada sang tinta. Teriakkanlah suara jiwa kalian dengan santun melalui pena. Dan berikan sentuhan charisma untuk merubah dunia melalui tulisan.
Semoga tips ini bisa bermanfaat!


#Purakasastra Edisi 2 Tahun 1-November 2014

Pengunjung

PURAKASASTRA. Powered by Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Terpopuler