Oleh: Ricky Richard Sehajun
Mahkluk Indonesia,
melolong, “kami merdeka”. Tapi, lolongan itu disenyapkan realitas. Realitas berperan
antagonis. Ia berkumandang, “Indonesia belum merdeka”. Kolom kemerdekaan
Indonesia terdefinisi sebagai, terlepas dari jerat penjajah asing. Itu dulu.
Sekarang lain lagi. Ada redefinisi kemerdekaan. Penjajah asing terlempar.
Penjajah dalam negeri terdampar. Penjajah itu terjelma dalam kemasan
kemiskinan, korupsi, ketidakadilan, kecurangan. Penjajah ini menoreh luka. Punya
tusukan maut. Mendatangkan petaka. Disebut
pembunuh berdarah dingin. Manusia dibuat mati pelan-pelan.
Lantas, siapa bertanggungjawab
memusnahkannya? Mahluk Indonesia, bukan? Pemimpin dan rakyat. Idenya, keduanya
harus bersatu. Praktisnya, tercuat perceraian. Ide pemimpin yakni mengasihi,
mengatur dan menjaga. Tapi kerap
dibarengi tindakan memanfaatkan rakyat. Sebabnya, kepentingan. Hakikatnya, menilai
penting atau tidak penting, tergantung kepentingannya. Perbedaan kepentingan
inilah yang merangsang penjajah baru. Ia mengandeng racun tuk membungkam
kesejahteraan. Lihat saja. Kata banyak calon pemimpin, “yang baik adalah
menjadi pemimpin”. Tatkala jadi pemimpin, sukanya memacu dan memicu kemelaratan.
Ironisnya, di tenggah situasi rakyat yang telah dipusingkan oleh terpaan kemelaratan,
pemimpin tidak ambil pusing. Senyumnya riang. Tawanya terkekeh. Namun, sewaktu rapat
soal rakyat, malah tertidur. Sukanya duduk di sofa. Jarang turun ke lapangan
rakyat. Makanannya serba luar negeri. Kalaupun telah berorasi, cinta akan produk
dalam negeri. Belum lagi soal harga BBM yang kian melonjak.
Gilanya, kalau
sudah jadi pemimpin, yang lain dianggap tidak bisa memimpin. Mengangap diri,
hanya aku yang bisa. Aku luar biasa. Yang lain berbisa. Maka, berusaha saling
menjerat dan menjarah. Pemimpin mengaggap diri sehat, padahal kesehatannya
terganggu. Ada sakit KKN, sakit malas dan ego yg tinggi. Dibilang masuk rumah
sakit untuk direhabilitasi, malah dianggap krtikan yang tidak membangun. Dianggap
melecehkan pejabat. Udah salah tafsir-kan?
Pantasan segala rencana kerja tidak teratur. Tidak punya disiplin makna yang
tertata karena memang ada salah tafsiran. Kalau salah tafsir, maka ngomongnya asal
ngomong. Semuanya kosong. Yang kosong adalah pikiran baiknya. Kalau pikirannya
kosong, besar kemungkinan ngomongnya kotor. Terjadilah janji kosong. Bahasa
yang dipakai penuh gombalan maut. Muslihat yang gemilang. Tak ketinggalan
imajinasinya pada semberawut semua. Yang ada cuma suara sumbang yang juga
terlahir dari kekosongan. Omong kosong seraya berpikir tong kosong. Kasihan
rakyat, selalu terbawa rayuan omong kosong. Padahal mereka
bertindak untuk mengisi kekosonggan diri. Maklum, di rumah mungkin yang ada
hanya rumah kosong. Peralatan kosong. Jadi, pantasan mereka mengambil uang
kita, jati diri kita. Kita mau berkata apa? Rasa-rasanyanya, “kata”, kita mungkin dianggap omong kosong
juga bagi mereka. Pemimpin yang baik harus sehat, tidak hidup dalam kekosongan
dan omong kosong.
Indonesia dibelenggu
oleh tudingan omong kosong. Omong kosong terpaut dengan retorika bahasa.
Lontaran kata yang seolah-olah berasal dari sang kebenaran. Padahal dari sang
kejahatan. Ini, mengharuskan ada kolom intelektual yang membantai retorika
omong kosong. Seraya mengantikannya dengan suara kebenaran murni. Suara
kebenaran tersebut diletakan pada tangan dan mulut para sastrawan atau kritikus
sastra. Suara itu, tanpa kepentingan politik. Tanpa berhamba pada kekuasaan.
Bukan berminat pada sogok-sogakan. Sastrawan tidak boleh bungkam di hadapan
kekuasaan. Apalagi mati ditangan ketidakadilan. Sastrawan harus berada pada
jalur kepentingan kemerdekaan Indonesia. Tampilan realitas kerapkali
menampilkan sastrawan yang malah mengabdi pada kekuasaan omong kosong. Dengan pengabdian
tersebut, sesungguhnya kemerdekaan para sastrawan direnggut. Dibumi hanguskan.
Kita berjuang untuk cinta akan kebaikan. Ketika pemerintah bertindak kapitalis,
kita mengusung pengabdian pada cinta demokrasi. Sembari berusaha menariknnya
pada jalur kebenaran. Kita tidak boleh menambah lagi krisis kejujuran negeri
ini. Biar, negeri Indonesia dapat terbebas segala pejajah asing dan dalam
negeri.
0 comments:
Post a Comment