Tuesday, December 9, 2014


 Oleh:  Ricky Richard Sehajun

Mahkluk Indonesia, melolong, “kami merdeka”. Tapi, lolongan itu disenyapkan realitas. Realitas berperan antagonis. Ia berkumandang, “Indonesia belum merdeka”. Kolom kemerdekaan Indonesia terdefinisi sebagai, terlepas dari jerat penjajah asing. Itu dulu. Sekarang lain lagi. Ada redefinisi kemerdekaan. Penjajah asing terlempar. Penjajah dalam negeri terdampar. Penjajah itu terjelma dalam kemasan kemiskinan, korupsi, ketidakadilan, kecurangan. Penjajah ini menoreh luka. Punya tusukan maut. Mendatangkan  petaka. Disebut pembunuh berdarah dingin. Manusia dibuat mati pelan-pelan.
Lantas, siapa bertanggungjawab memusnahkannya? Mahluk Indonesia, bukan? Pemimpin dan rakyat. Idenya, keduanya harus bersatu. Praktisnya, tercuat perceraian. Ide pemimpin yakni mengasihi, mengatur dan menjaga. Tapi  kerap dibarengi tindakan memanfaatkan rakyat. Sebabnya, kepentingan. Hakikatnya, menilai penting atau tidak penting, tergantung kepentingannya. Perbedaan kepentingan inilah yang merangsang penjajah baru. Ia mengandeng racun tuk membungkam kesejahteraan. Lihat saja. Kata banyak calon pemimpin, “yang baik adalah menjadi pemimpin”. Tatkala jadi pemimpin, sukanya memacu dan memicu kemelaratan. Ironisnya, di tenggah situasi rakyat yang telah dipusingkan oleh terpaan kemelaratan, pemimpin tidak ambil pusing. Senyumnya riang. Tawanya terkekeh. Namun, sewaktu rapat soal rakyat, malah tertidur. Sukanya duduk di sofa. Jarang turun ke lapangan rakyat. Makanannya serba luar negeri. Kalaupun telah berorasi, cinta akan produk dalam negeri. Belum lagi soal harga BBM yang kian melonjak.  
Gilanya,  kalau sudah jadi pemimpin, yang lain dianggap tidak bisa memimpin. Mengangap diri, hanya aku yang bisa. Aku luar biasa. Yang lain berbisa. Maka, berusaha saling menjerat dan menjarah. Pemimpin mengaggap diri sehat, padahal kesehatannya terganggu. Ada sakit KKN, sakit malas dan ego yg tinggi. Dibilang masuk rumah sakit untuk direhabilitasi, malah dianggap krtikan yang tidak membangun. Dianggap melecehkan pejabat. Udah salah tafsir-kan? Pantasan segala rencana kerja tidak teratur. Tidak punya disiplin makna yang tertata karena memang ada salah tafsiran. Kalau salah tafsir, maka ngomongnya asal ngomong. Semuanya kosong. Yang kosong adalah pikiran baiknya. Kalau pikirannya kosong, besar kemungkinan ngomongnya kotor. Terjadilah janji kosong. Bahasa yang dipakai penuh gombalan maut. Muslihat yang gemilang. Tak ketinggalan  imajinasinya pada semberawut semua. Yang ada cuma suara sumbang yang juga terlahir dari kekosongan. Omong kosong seraya berpikir tong kosong. Kasihan rakyat, selalu terbawa rayuan omong kosong. Padahal mereka bertindak untuk mengisi kekosonggan diri. Maklum, di rumah mungkin yang ada hanya rumah kosong. Peralatan kosong. Jadi, pantasan mereka mengambil uang kita, jati diri kita. Kita mau berkata apa? Rasa-rasanyanya, “kata”, kita mungkin dianggap omong kosong juga bagi mereka. Pemimpin yang baik harus sehat, tidak hidup dalam kekosongan dan omong kosong.
Indonesia dibelenggu oleh tudingan omong kosong. Omong kosong terpaut dengan retorika bahasa. Lontaran kata yang seolah-olah berasal dari sang kebenaran. Padahal dari sang kejahatan. Ini, mengharuskan ada kolom intelektual yang membantai retorika omong kosong. Seraya mengantikannya dengan suara kebenaran murni. Suara kebenaran tersebut diletakan pada tangan dan mulut para sastrawan atau kritikus sastra. Suara itu, tanpa kepentingan politik. Tanpa berhamba pada kekuasaan. Bukan berminat pada sogok-sogakan. Sastrawan tidak boleh bungkam di hadapan kekuasaan. Apalagi mati ditangan ketidakadilan. Sastrawan harus berada pada jalur kepentingan kemerdekaan Indonesia. Tampilan realitas kerapkali menampilkan sastrawan yang malah mengabdi pada kekuasaan omong kosong. Dengan pengabdian tersebut, sesungguhnya kemerdekaan para sastrawan direnggut. Dibumi hanguskan. Kita berjuang untuk cinta akan kebaikan. Ketika pemerintah bertindak kapitalis, kita mengusung pengabdian pada cinta demokrasi. Sembari berusaha menariknnya pada jalur kebenaran. Kita tidak boleh menambah lagi krisis kejujuran negeri ini. Biar, negeri Indonesia dapat terbebas segala pejajah asing dan dalam negeri.

  #Purakasastra Edisi 2 Tahun 1-November 2014

0 comments:

Post a Comment

Pengunjung

PURAKASASTRA. Powered by Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Terpopuler