Thursday, September 4, 2014


Semua orang memandangku sebagai pencinta sunyi setiap waktu..
Selang beberapa hari kemudian, aku tetap dalam sepi dan kaku..
Aku ragu pada bibirku sendiri
"DAN BISU LAH AKU"..
Aku ragu pada telingaku sendiri
"DAN TULI LAH AKU"..
Aku seperti seekor naga yang marah terkendala awan menjepit..
Ruang, gerak dan batas bersekat tembaga di bilik sempit..
Aku harus bicara dengan kakiku terlebih dahulu sebelum pergi dari rumahku..
Aku ingin angin menjadi sepasang mata buat kakiku.. Tapi......
Kini aku telah berubah menjadi kenangan pilu bagi orangtuaku,
adik-adikku, saudara-saudara ku, kekasihku dan sahabat-sahabatku..
Ibarat penyair yang terusir..
Ke tempat paling jauh aku menyingkir..
Pada suatu siang,,
aku sedang duduk mematung dibawah cuaca kering sesakkan jantung..
Dan pada suatu malam aku terjaga di tepi kiri asap dan haru..
Dalam keramaian tawa asing oleh teman baru..
Lama-lama aku lelah dengan diriku sendiri..
Dan ingin bergegas memeluk orang-orang yang ku kasihi..
Aku takut mereka tak mengenal aku lagi..
Yang hilang dari catatan waktu malam dan pagi..
Tapi hari ini akan kucoba lebih tegar..
Ku bukukan semua,,berharap nanti kalian dengar.. Karena puluhan puisi telah lahir disini..
Puluhan puisi juga telah mati disini..
Aku ada di Utara.. Aku ada di Selatan..
Di langit,, di bumi..
Aku ada di Barat.. Aku ada di Timur..
Di sorga,, di neraka..
Kini.... Aku menangis,, aku meratap..
Aku menjerit,, aku menghiba..
Aku berbisik,, aku berseru..
Langit ini tak benar-benar biru..
Tidak ada yang lebih membuatku sengsara
selain mendengar suara pesawat, mobil, motor
yang memaksa ingatanku kembali ke masa lalu untuk sementara..
Arrgghhhh....
Kopi ini menjadi dingin tak lagi nikmat..

HADAREWA TODU


(Diambil dari  rubrik Sastra Cyber  majalah Purakasastra Edisi 1)
Oleh : Edward Angimoy

Bilik kerja, di belakang meja. Dingin membungkus. Lewat tengah malam. Ninik masih juga belum berhasil menjaring petunjuk apa-apa. Namun, bukan lelah atau bosan yang menyanderanya, melainkan penasaran yang tumpah-ruah di sepanjang labirin perasaannya. Sesekali ia coba menajamkan kembali intuisi dan nalarnya, berharap ada bunga api pencerahan yang bisa ditemukannya tercecer di jalan-jalan setapak pikirannya.Ia semakin menaikkan level fokus. Kelopak matanya yang sedari tadi mengatupkini semakin mengkerut, menjepit semakin dalam. Namun lagi-lagi, yang bisa Iajumpai dalam penglihatan inderanya hanyalah potongan-potongan kejadian setelah peristiwa kebakaran di balai desa kemarin pagi. Lebih persis pada saat hiruk-pikuk seluruh isi desa menjinakkan kobaran api telah selesai. Juga pada saat beberapa mulut di antaranya mulai melempar asumsi dan rumor tentang penyebab kebakaran.Hanya itu.
Dibilik kerja. Dingin terus membekap. Gelap malam yang tengah lewat masih menggantung dan kini jadi kian pekat. Konon, saat-saat paling gelap adalah saat-saat menjelang fajar. Di balik meja, Ninik masih terjaga. Di ujung matanya, sejumlah hipotesis berdiri acak.
Sejurus kemudian, hipotesis-hipotesis itu seperti menjelma layang-layang. Ninik adalah bocah yang memainkan layang-layang tersebut. Ada semacam pola tarik-ulur yang Ia padukan agar layang-layang hipotesis itu menemukan momentum terbaik untuk terbang dan melayang sempurna. Jika layang-layang adalah hipotesis yang sedang ia bedah,maka pola tarik-ulur tadi adalah pisau analisis yang Ia gunakan untuk menemukan hipotesis terbaik tentang kebakaran balai desa.
***
Ninik adalah seorang pengintip. Menurut ayahnya, nama Ninik berasal dari bahasa adat kampung ibunya yang berarti mengintip. Sungguh seperti sebaris ramalan, Ninik pada akhirnya menjadi seorang pengintip, selalu mengintip. Dalam hal ini, lebih nyaman disebut pengintip daripada intel, mata-mata, telik sandi, agen rahasia, atau apapun itu yang berbau militer. Barangkali karena Ia punya trauma yang mendalam terhadap militer. Lalu entah mengapa, kata pengintip membuatnya merasa jauh lebih lentur. Ninik pengintip terbaik di negeri ini. Ia didaulat sebagai Mata Elang. Pandangannya begitu luas dan jernih. Intuisi dan nalarnya seolah pedang bermata dua. Dua-duanya pamungkas. Tatapannya adalah yang paling awas. Detail yang paling mikro sekalipun tidak pernah dilewatkannya begitu saja sebab Ia memang punya keyakinan bahwa setiap peristiwa dalam skala apapun adalah sebuah puzzle. Sebuah puzzle berdiri di atas rangkaian detail-detail kecil. Detail jadi kata kunci. Sekumpulan digdaya itu menempatkan pandangannya jadi yang paling mendekati presisi.
Konon,selain koruptor, Ninik menjadi sosok paling dicari di seantero negeri. Media menyebut mereka musuh publik. Namun dalam soal klaim media ini, Ia tidak pernah sudi disejajarkan dengan koruptor. Bagi Ninik, koruptor berada di level terendah bersama teroris bila modus kejahatan diranking. Banyak kasus perampokan dan pencurian bernilai miliaran rupiah yang melibatkan perannya sebagai pengintip. Tugasnya sederhana namun menyumbang andil yang sangatdominan. Ia hanya perlu mengintip, mengamati, mengumpulkan data sedetail mungkin, lalu merangkumnya dalam sekumpulan informasi intelejen yang kemudianakan dijual ke pembeli yang telah lebih dulu memesan. Ia semacam bank data.Namanya melegenda di kalangan kriminal bawah tanah sampai akhirnya suatu ketika identitasnya ditelanjangi. Sebulan setelahnya Ia tertangkap dalam pelarian diluar negeri. Namun, Ia tak lantas diproses di pengadilan. Unit intelejen negara menawarinya pembebasan bersyarat asalkan Ia bersedia mengabdi pada kepentingan negara.Ia tak punya daya tawar sedikitpun......

#baca kelanjutannya di Purakasastra Edisi 1

Oleh: Maidi Chandra

Jengah aku dengar bisik gerimis
Keluh tanah kian terasa amis
Menyengat napas muntahkan selongsong tiris
Menatap banjir melabuhkan tangis
mengiris
Aku tak bisa merapal catatan alam
Yang meninggalkan remuk kelu di
kesunyian malam
Dan raung si kecil mencari hangat di selembar tilam
Atau sebatang kepul asap tak lagi bingar lewati kelam
Yang kupahami hanya setangkup pesan, di sana
Di antara air mata dan mata air murka
Tertinggal tangan-tangan hitam
mengepul dosa
Menelanjangi nusantara lenguh tak
berdaya
Dan segulung bencana adalah surat kecil
dari-Nya

Tangerang, Januari 2014
#Dimuat dalam Purakasastra Edisi 1 tahun 1 Agustus 2014
Oleh: Faisal Akhsan

Sebuah tanya
Namun terkubur
Apa dia?
Ku jawab entah
Masih
Untuk warna yang tinggal serabut
Aku masih
Dalam lubuk terkuak
Kiranya hanya dalam tengkuk ia seruak
Lalu diam
Ini bukan tentang perangah
Aku hanya.. begitulah
Masih
Diam
Terduduk pandangi geliat dengan seluruh
Tapi di sana aku terdiam
Kadang suatu berkata, Masihkah?
Ku jawab, Entah
Untuk sebuah waktu
Ku terka, sempit
Bahkan sulit
Hanya ku tunggu waktu hingga terjepit
Antara kuduk, jakun
Di sini, di tenggorokan
Sedang mata meraih citra

Djoen – camar13
#Dimuat dalam Purakasastra Edisi 1 tahun 1 Agustus 2014

Susunan Pengurus Majalah

PEMIMPIN REDAKSI : Ricky Richard Sehajun

REDAKTUR PELAKSANA: Ade Junita
                                                                                                                                           
DEWAN RUBRIK :
Dian Rusdi
Muhammad Ridwan Kholis
Nurul Latifah
Riska Hermawati
Ellyas  Rawamaju
Nilam Ikhwani
Adi Septa Suganda
Zahara Putri
Elfridus Silman
Yessy Oktaviani
Rizal
Van Gorg

EDITOR :
Nurul Latifah
Riska Hermawati
Zahara Putri

DESAIN GRAFIS DAN TATA LETAK :
Ade Junita
Fina Wardatul Ummah

DESAIN SAMPUL :
Karna Mustakim



Nomor Kontak Majalah Purakasastra :

085233467893/ sehajunrickyrichard@gmail.com

email: redaksipuraka@gmail.com


Pengunjung

PURAKASASTRA. Powered by Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Terpopuler