Thursday, September 4, 2014

Oleh : Edward Angimoy

Bilik kerja, di belakang meja. Dingin membungkus. Lewat tengah malam. Ninik masih juga belum berhasil menjaring petunjuk apa-apa. Namun, bukan lelah atau bosan yang menyanderanya, melainkan penasaran yang tumpah-ruah di sepanjang labirin perasaannya. Sesekali ia coba menajamkan kembali intuisi dan nalarnya, berharap ada bunga api pencerahan yang bisa ditemukannya tercecer di jalan-jalan setapak pikirannya.Ia semakin menaikkan level fokus. Kelopak matanya yang sedari tadi mengatupkini semakin mengkerut, menjepit semakin dalam. Namun lagi-lagi, yang bisa Iajumpai dalam penglihatan inderanya hanyalah potongan-potongan kejadian setelah peristiwa kebakaran di balai desa kemarin pagi. Lebih persis pada saat hiruk-pikuk seluruh isi desa menjinakkan kobaran api telah selesai. Juga pada saat beberapa mulut di antaranya mulai melempar asumsi dan rumor tentang penyebab kebakaran.Hanya itu.
Dibilik kerja. Dingin terus membekap. Gelap malam yang tengah lewat masih menggantung dan kini jadi kian pekat. Konon, saat-saat paling gelap adalah saat-saat menjelang fajar. Di balik meja, Ninik masih terjaga. Di ujung matanya, sejumlah hipotesis berdiri acak.
Sejurus kemudian, hipotesis-hipotesis itu seperti menjelma layang-layang. Ninik adalah bocah yang memainkan layang-layang tersebut. Ada semacam pola tarik-ulur yang Ia padukan agar layang-layang hipotesis itu menemukan momentum terbaik untuk terbang dan melayang sempurna. Jika layang-layang adalah hipotesis yang sedang ia bedah,maka pola tarik-ulur tadi adalah pisau analisis yang Ia gunakan untuk menemukan hipotesis terbaik tentang kebakaran balai desa.
***
Ninik adalah seorang pengintip. Menurut ayahnya, nama Ninik berasal dari bahasa adat kampung ibunya yang berarti mengintip. Sungguh seperti sebaris ramalan, Ninik pada akhirnya menjadi seorang pengintip, selalu mengintip. Dalam hal ini, lebih nyaman disebut pengintip daripada intel, mata-mata, telik sandi, agen rahasia, atau apapun itu yang berbau militer. Barangkali karena Ia punya trauma yang mendalam terhadap militer. Lalu entah mengapa, kata pengintip membuatnya merasa jauh lebih lentur. Ninik pengintip terbaik di negeri ini. Ia didaulat sebagai Mata Elang. Pandangannya begitu luas dan jernih. Intuisi dan nalarnya seolah pedang bermata dua. Dua-duanya pamungkas. Tatapannya adalah yang paling awas. Detail yang paling mikro sekalipun tidak pernah dilewatkannya begitu saja sebab Ia memang punya keyakinan bahwa setiap peristiwa dalam skala apapun adalah sebuah puzzle. Sebuah puzzle berdiri di atas rangkaian detail-detail kecil. Detail jadi kata kunci. Sekumpulan digdaya itu menempatkan pandangannya jadi yang paling mendekati presisi.
Konon,selain koruptor, Ninik menjadi sosok paling dicari di seantero negeri. Media menyebut mereka musuh publik. Namun dalam soal klaim media ini, Ia tidak pernah sudi disejajarkan dengan koruptor. Bagi Ninik, koruptor berada di level terendah bersama teroris bila modus kejahatan diranking. Banyak kasus perampokan dan pencurian bernilai miliaran rupiah yang melibatkan perannya sebagai pengintip. Tugasnya sederhana namun menyumbang andil yang sangatdominan. Ia hanya perlu mengintip, mengamati, mengumpulkan data sedetail mungkin, lalu merangkumnya dalam sekumpulan informasi intelejen yang kemudianakan dijual ke pembeli yang telah lebih dulu memesan. Ia semacam bank data.Namanya melegenda di kalangan kriminal bawah tanah sampai akhirnya suatu ketika identitasnya ditelanjangi. Sebulan setelahnya Ia tertangkap dalam pelarian diluar negeri. Namun, Ia tak lantas diproses di pengadilan. Unit intelejen negara menawarinya pembebasan bersyarat asalkan Ia bersedia mengabdi pada kepentingan negara.Ia tak punya daya tawar sedikitpun......

#baca kelanjutannya di Purakasastra Edisi 1

0 comments:

Post a Comment

Pengunjung

PURAKASASTRA. Powered by Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Terpopuler