Oleh : Edward Angimoy
Bilik kerja, di belakang meja. Dingin
membungkus. Lewat tengah malam. Ninik masih juga belum berhasil menjaring
petunjuk apa-apa. Namun, bukan lelah atau bosan yang menyanderanya, melainkan
penasaran yang tumpah-ruah di sepanjang labirin perasaannya. Sesekali ia coba
menajamkan kembali intuisi dan nalarnya, berharap ada bunga api pencerahan yang
bisa ditemukannya tercecer di jalan-jalan setapak pikirannya.Ia semakin
menaikkan level fokus. Kelopak matanya yang sedari tadi mengatupkini semakin
mengkerut, menjepit semakin dalam. Namun lagi-lagi, yang bisa Iajumpai dalam
penglihatan inderanya hanyalah potongan-potongan kejadian setelah peristiwa
kebakaran di balai desa kemarin pagi. Lebih persis pada saat hiruk-pikuk
seluruh isi desa menjinakkan kobaran api telah selesai. Juga pada saat beberapa
mulut di antaranya mulai melempar asumsi dan rumor tentang penyebab
kebakaran.Hanya itu.
Dibilik kerja. Dingin terus membekap.
Gelap malam yang tengah lewat masih menggantung dan kini jadi kian pekat.
Konon, saat-saat paling gelap adalah saat-saat menjelang fajar. Di balik meja,
Ninik masih terjaga. Di ujung matanya, sejumlah hipotesis berdiri acak.
Sejurus kemudian, hipotesis-hipotesis itu
seperti menjelma layang-layang. Ninik adalah bocah yang memainkan layang-layang
tersebut. Ada semacam pola tarik-ulur yang Ia padukan agar layang-layang
hipotesis itu menemukan momentum terbaik untuk terbang dan melayang sempurna.
Jika layang-layang adalah hipotesis yang sedang ia bedah,maka pola tarik-ulur
tadi adalah pisau analisis yang Ia gunakan untuk menemukan hipotesis terbaik
tentang kebakaran balai desa.
***
Ninik adalah seorang pengintip. Menurut
ayahnya, nama Ninik berasal dari bahasa adat kampung ibunya yang berarti
mengintip. Sungguh seperti sebaris ramalan, Ninik pada akhirnya menjadi seorang
pengintip, selalu mengintip. Dalam hal ini, lebih nyaman disebut pengintip
daripada intel, mata-mata, telik sandi, agen rahasia, atau apapun itu yang
berbau militer. Barangkali karena Ia punya trauma yang mendalam terhadap
militer. Lalu entah mengapa, kata pengintip membuatnya merasa jauh lebih
lentur. Ninik pengintip terbaik di negeri ini. Ia didaulat sebagai Mata Elang.
Pandangannya begitu luas dan jernih. Intuisi dan nalarnya seolah pedang bermata
dua. Dua-duanya pamungkas. Tatapannya adalah yang paling awas. Detail yang
paling mikro sekalipun tidak pernah dilewatkannya begitu saja sebab Ia memang
punya keyakinan bahwa setiap peristiwa dalam skala apapun adalah sebuah puzzle.
Sebuah puzzle berdiri di atas rangkaian detail-detail kecil. Detail jadi kata
kunci. Sekumpulan digdaya itu menempatkan pandangannya jadi yang paling
mendekati presisi.
Konon,selain koruptor, Ninik menjadi
sosok paling dicari di seantero negeri. Media menyebut mereka musuh publik.
Namun dalam soal klaim media ini, Ia tidak pernah sudi disejajarkan dengan
koruptor. Bagi Ninik, koruptor berada di level terendah bersama teroris bila
modus kejahatan diranking. Banyak kasus perampokan dan pencurian bernilai
miliaran rupiah yang melibatkan perannya sebagai pengintip. Tugasnya sederhana
namun menyumbang andil yang sangatdominan. Ia hanya perlu mengintip, mengamati,
mengumpulkan data sedetail mungkin, lalu merangkumnya dalam sekumpulan
informasi intelejen yang kemudianakan dijual ke pembeli yang telah lebih dulu
memesan. Ia semacam bank data.Namanya melegenda di kalangan kriminal bawah
tanah sampai akhirnya suatu ketika identitasnya ditelanjangi. Sebulan
setelahnya Ia tertangkap dalam pelarian diluar negeri. Namun, Ia tak lantas
diproses di pengadilan. Unit intelejen negara menawarinya pembebasan bersyarat
asalkan Ia bersedia mengabdi pada kepentingan negara.Ia tak punya daya tawar
sedikitpun......
#baca kelanjutannya di Purakasastra Edisi
1
0 comments:
Post a Comment